. BONSER 3 MANIA: Tentang ajaran Tasawuf
Assalamu'alaikum. Makasih ye dah mo mampir ke blog ane.
Semoga bermanfaat buat ente2 semuanye. Jangan lupe isi
buku tamunye. Follow juga dong kl bisa. Salam sahabat so
much dari ane.

Senin, 08 Maret 2010

Tentang ajaran Tasawuf

Mengoreksi Ajaran Tasawuf

Pada hakekatnya ajaran tasawuf yang dianut umat Islam bercorak panteistis, hasil dari konsepsi filsafat yang disebut monisme. Yaitu konsepsi yang menyatakan bahwa Tuhan dan alam adalah satu. Bahkan jika diurut-urut lebih jauh, konsepsi monisme dengan panteismenya ternyata bersumber dari ajaran Hindu.

Drs H Abdul Qadir Djaelani seorang da’i yang pernah mendekam di penjara di masa Soeharto akibat menentang asa tunggal Pancasila dsb, produktif menulis buku (kini sekitar 14 buku diantaranya menanggapi pendapat-pendapat pembaharu/ neomodernis) ini merasa gemas melihat merebaknya tasawuf dan tarekat di kalangan umat Islam. Dia menulis kritik tajam terhadap tasawuf dalam buku yang berjudul Koreksi terhadap Ajaran Tasawuf diterbitkan GIP Jakarta, cet I 1996, 240 halaman. Dia menohok tokoh-tokoh tasawwuf yang ia nilai melenceng dari Islam seperti Al-Hallaj yang dibunuh oleh para ulama dan Ibnu Arabi yang dikafirkan oleh para ulama.

Berbagai metode ajaran tasawuf dibelejeti dalam buku ini, yang menurut Abdul Qadir (AQ) menyimpang dari Islam seperti zuhud, bai’at dan ketaatan mutlak, wasilah dan rabithah, serta uzlah dan khalwat. Ia juga menghujat praktik ekstase (junun) yang dilakukan para sufi (orang tasawuf).
Secara tegas, AQ mengawali bukunya dengan ungkapan yang menyentak, bahwa teori-teori yang diajarkan oleh berbagai macam aliran tasawuf, baik teori wihdatil wujud, wihdatus syuhud, al-ittihad, al-ittishal, al-hulul, atau al-liqa’, semuanya bersifat panteistis. Itu ujung-ujungnya adalah ajaran Hindu yang berpengaruh terhadap Yunani kuno dan kemudian diambil ke tasawuf Islam lewat penerjemahan-penerjemahan yang kebanyakan dilakukan oleh orang-orang Kristen zaman kekhalifahan abad kedua Hijriah.

Istilah Sufi

Jika istilah “sufi” ini diduga berasal dari kata shophia (bahasa Yunani), maka hal ini lebih dapat diterima. Sebab, sumber pemikiran Islam yang kedua setelah Al-Quran dan al-Hadits berasal dari negeri-negeri seperti Syria, Mesir, dan Persia, dengan pikiran-pikiran Yunani menjadi induk pemikiran di negeri-negeri tersebut. Pikiran neoplatonisme (Plotinus, wafat 269M), filosof Kristen yang mengajarkan tentang emanasi dan panteisme –yang sangat berpengaruh di dunia Kristen– juga berasal dari pikiran Yunani, khususnya pikiran Aristoteles dan Prophiry. (hal 13).

Sementara itu, dari data yang terungkap, orang pertama yang mendapat gelar “sufi” adalah Abu Hasyim Al-Kufi (wafat 150 H/ 761M) dari Kufah, bukan dari Makkah atau Madinah, dan ia dari generasi tabi’in, bukan dari generasi sahabat. Sedangkan di sisi lain, masa terjemahan telah terjadi terlebih dahulu, paling tidak
beberapa puluh tahun sebelum munculnya orang pertama yang bergelar sufi itu.

Jika istilah “sufi” itu juga dianggap berasal dari kata shuf (bulu domba, wol kasar) yang biasa dipakai oleh para sufi Kristen, hal ini bisa diterima, bahkan antara kata shophia dan shuf saling menguatkan. Sebab ajaran sufi di dunia Kristen yang paling berpengaruh berasal dari Plotinus, sehingga sangat logis jika aliran ini berpengaruh pada kaum sufi Kristen di Syria, Mesir, Baghdad dan Yaman. Lebih memperkuat lagi ialah bahwa kaum sufi muslim pada umumnya memakai kain shuf. (hal 14).

Selanjutnya AQ mengemukakan definisi tasawuf dengan mengutip beberapa orang di antaranya pendapat Bandar bin al-Husein, Sahal bin Abdullah at-Turturi, dan Al-Junaid (wafat 910M, tokoh tasawuf yang resmi dianut oleh orang tradisionalis di Indonesia, pen). Al-Junaid berkata: “Tasawuf berarti bahwa Tuhan menjadikan kamu mati, untuk hidup kembali di dalam-Nya.” (hal 15). Sedangkan Abu Yazid Busthami berkata: “Jika aku terhapus, maka Tuhan adalah kaca-Nya sendiri dalam aku.” (hal 15).
Lalu AQ menyimpulkan, pengertian tasawuf menurut istilah, tidak lain yaitu suatu usaha yang sungguh-sungguh dengan jalan mengasingkan diri sambil bertafakur (kontemplasi), melepaskan diri dari segala yang bersifat duniawi dan memusatkan diri hanya kepada Tuhan sehingga bersatu dengan-Nya.

Tasawuf dari Hindu

AQ berkeyakinan bahwa tasawuf itu berasal dari Hindu di antaranya dengan bukti: tujuan akhir dari peribadatan dalam agama Hindu adalah bersatunya kembali antara atman (ruh atau substansi) dengan brahman (ruh alam semesta atau Tuhan). Ajaran Hindu sangat berpengaruh terhadap bangsa Yunani kuno, baik dalam bentuk mitologi, filsafat, maupun mistik. Sehingga kita ketahui bahwa Plato dan Pythagoras adalah dua tokoh penganut ajaran reinkarnasi yang berasal dari ajaran Hindu. (hal 9).

Menurut M Horten (yang didukung R Hartman), tasawuf berasal dari alam pemikiran India. Dalam hal ini Horten telah melakukan penelitian yang lama untuk menguatkan pendapatnya itu. Akan tetapi pendapat tersebut kemudian ia revisi setelah ia melakukan analisis terhadap tasawuf al-Hallaj, al-Busthami, dan al-Junaid, dengan mengatakan bahwa tasawuf abad ketiga Hijriah-lah yang sangat dipengaruhi alam pemikiran India, terutama ajaran al-Hallaj. Horten pun berusaha keras mengokohkan teorinya ini dengan salah satu penelitiannya untuk menetapkan bahwa tasawuf berasal dari sumber India. Penelitian fisiologis yang dilakukannya terhadap berbagai terminologi para sufi Persia akhirnya membuatnya berkesimpulan bahwa tasawuf berasal dari aliran Vedanta di India. (hal 18).
Sementara itu Hartman, yang berusaha keras pula, membuktikan asal usul atau sumber tasawuf dari India. Ia mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:

1. Kebanyakan angkatan pertama sufi berasal bukan dari Arab. Misalnya Ibrahim bin Adham, Syaqiq al-Balakhi, Abu Yazid al-Busthami, dan Yahya ibn Ma’az ar Radzi.
2. Kemunculan dan penyebaran tasawuf untuk pertama kalinya adalah di Khurasan (Parsi).
3. Pada masa sebelum Islam, Turkestan merupakan pusat pertama berbagai agama dan kebudayaan Timur dan Barat. Dan ketika para penduduk kawasan itu memeluk agama Islam, mereka mewarnainya dengan corak mistisisme lama.
4. Kaum muslim sendiri mengakui adanya pengaruh India tersebut.
5. Aksetisisme Islam (kebatinan) yang pertama adalah bercorak India, baik dalam kecenderungannya maupun metode-metodenya. Keluasan batin, pemakaian tasbih, misalnya, merupakan gagasan dan praktik yang berasal dari India. (hal 19).

Berasal dari Yunani dan asing

Kemudian cukup banyak para orientalis yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari tradisi pemikiran Yunani. Para orientalis yang berpendapat seperti ini lebih menaruh perhatian terhadap tasawuf yang mulai muncul pada abad ketiga Hijriah, lewat Dzun Nun al-Mishri, wafat 245H. (hal 19).
Muhammad Al-Bahiy (intelektual Islam Mesir, pen) menyatakan tentang adanya intervensi (penyusupan) alam pikiran asing, seperti paganisme Mesir, agama Budha, agama Hindu, agama Zaratrusta, ajaran Manu, Kristen, Yahudi, dan filsafat Yunani.

Dalam kaitan ini secara khusus filsafat Yunani telah:
1. Menimbulkan aliran-aliran filsafat di antaranya:
a. filsafat metafisika yang diwakili oleh Ibnu Sina di Timur dan Ibnu Rusyd di Barat; b. filsafat alam (fisika) yang diwakili oleh Abu Bakar ar-Razi. c. filsafat emanasi yang diwakili oleh Suhrawardi.
2. Membantu kelahiran:
a. tasawuf zuhud yang diwakili oleh Abdul Haris al-Muhasibi;
b. tasawuf filsafat yang diwakili oleh al-Ghazali; c. tasawuf India, Kristen, dan neoplatonisme yang diwakili oleh Ibnu Arabi, Ibnu Sab’in, dan al-Hallaj. (hal 23).

Selanjutnya, AQ membuktikan bahwa esensi ajaran tasawuf dan praktik-praktik amaliahnya berasal dari asing, yakni Kristen, Yunani, dan Hindu, maka secara prinsipil bertentangan dengan Islam.

Kalau Abdul Qadir Djaelani membuktikannya dengan buku setebal 240 halaman, maka secara mudah ulama tua KH Ghofar Isma’il (almarhum, ayah penyair dr Taufik Isma’il) dalam ceramah-ceramah pengajian tafsirnya cukup menjelaskan pada umat, kalau ada guru yang memberikan amalan-amalan (lafal-lafal dzikir) untuk dibaca sekian kali, itu harus dilandasi hadits yang shohih. Bila tidak, maka perlu diragukan kebenarannya.

Manhaj Shahih dan Penyelewengan Aqidah

Tidak diragukan, Islam adalah agama yang haq dari Allah, dan sumbernya jelas berupa wahyu yang tercantum dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Untuk mengetahui bagaimana sebenarnya pemahaman Islam yang benar, maka perlu diketahui kaidah-kaidah pokok tentang pengambilan sumber Islam dan cara menggunakan atau mencari dalil yang benar.

Berikut ini penjelasan singkat tentang kaidah-kaidah pokok mengenai manhaj pengambilan sumber aqidah Islam dan pengambilan dalil menurut Dr Nashir Abdul Karim Al-Aql.

1. Sumber aqidah adalah Kitab Allah (Al-Qur’anul Karim), Sunnah Rasul-Nya saw yang shahih, dan ijma’ salafus shalih (kesepakatan generasi terdahulu yang baik).

2. Setiap Sunnah Rasul saw yang shahih wajib diterima, walaupun sifatnya hadits ahad (setiap jenjang, periwayatnya tidak mencapai jumlah mutawatir, sekalipun 3 orang lebih. Kalau hadits mutawatir setiap jenjang diriwayatkan oleh banyak orang).

3. Yang menjadi rujukan dalam memahami Al-Quran dan As-Sunnah adalah nash-nash penjelas (teks ayat ataupun hadits yang menjelaskan maksud-maksud ayat atau hadits). Rujukan lainnya adalah pemahaman salafus shalih, dan pemahaman imam-imam yang berjalan di atas manhaj (jalan) salafus shalih. Dan apa yang telah ditetapkan dari Al-Quran dan As-Sunnah tidak dipertentangkan dengan pengertian (lain) yang semata-mata kemungkinan-kemungkianan dari segi bahasa.

4. Dasar-dasar agama semuanya telah dijelaskan oleh Nabi saw, maka tidak ada hak bagi seorang pun untuk mengadakan sesuatu yang baru dengan anggapan bahwa itu termasuk dalam agama.

5. Pasrah kepada Allah dan kepada Rasul-Nya saw (dalam hal penetapan Islam ini) secara lahir maupun batin. Maka tidak ada hak untuk mempertentangkan satu hal pun dari Al-Quran ataupun dari As-Sunnah yang shahih (baik mempertentangkannya itu) dengan qiyas, ataupun dengan perasaan, kasyf (klaim tersingkapnya hijab/ tabir hingga melihat yang batin/ ghaib), ucapan syaikh, pendapat imam dan sebagainya.

6. Akal yang obyektif dan benar akan sesuai dengan naql (ayat ataupun hadits) yang shahih. Keduanya tidak akan bertentangan selamanya. Dan ketika terjadi kebimbangan yang bertentangan maka didahulukanlah naql (ayat ataupun hadits).

7. Wajib memegangi lafal-lafal syar’i dalam aqidah, dan menjauhi lafal-lafal bid’ah (bikinan baru). Sedangkan lafal-lafal yang mujmal (garis besar/ global) yang mengandung kemungkinan benar dan salah maka ditafsirkan dari makna (lafal)nya, lantas hal yang keadaannya benar maka ditetapkanlah dengan lafal kebenarannya yang syar’i, sedang hal yang batil maka ditolak.

8. Al-’Ishmah (keterpeliharaan dari kesalahan) itu tetap bagi Rasul saw, sedang ummat ini terjaga tidak akan bersepakat atas kesesatan. Adapun orang perorangnya maka tidak ada ‘ishmah (keterpeliharaan dari kesalahan) bagi seseorang pun dari ummat Islam ini. Sedang hal-hal yang ada perselisihan di kalangan para imam dan lainnya maka tempat kembalinya adalah kepada Al-Quran dan As-Sunnah; kemudian mujtahid ummat yang bersalah agar meminta ampun.

9. Di kalangan ummat ada muhaddatsun (orang-orang yang mendapatkan bisikan ghaib), mulahhamun (orang-orang yang mendapatkan ilham), dan mimpi yang benar itu adalah haq/ benar; dan itu adalah sebagian dari nubuwwah (kenabian), dan firasat yang benar itu adalah haq/ benar. Ini semua adalah karomah (kemuliaan) dan mubassyaroot (khabar-khabar gembira) –dengan syarat hal itu sesuai dengan syara’—dan itu semua bukanlah merupakan sumber bagi aqidah dan bukan pula sumber bagi syari’at.

10. Bertengkar dalam agama itu tercela, tetapi berbantahan (mujadalah) dengan baik itu masyru’ah (disyari’atkan). Dalam hal yang jelas dilarang menceburkan diri dalam pembicaraan panjang tentangnya, maka wajib mengikuti larangan itu. Dan wajib mencegah diri dari menceburkan diri untuk berbicara mengenai hal yang memang tidak ada ilmu bagi seorang muslim (misalanya tentang ruh yang ditegaskan bahwa itu termasuk urusan Allah SWT) maka menyerahkan hal itu kepada Allah SWT.

11. Wajib memegangi manhaj wahyu dalam menolak sesuatu, sebagaimana wajib pula memegangi manhaj wahyu itu dalam mempercayai dan menetapkan sesuatu. Maka tidak boleh menolak bid’ah dengan bid’ah, dan tidak boleh melawan tafrith (kelengahan, gegabah/ sembrono, sekenanya saja) dengan ghuluw (berlebih-lebihan, ekstrem), tidak pula sebaliknya, ghuluw dilawan dengan tafrith, itu tidak boleh.

12. Setiap bikinan baru dalam agama itu bid’ah, dan setiap bid’ah tu sesat, dan setiap kesesatan itu di neraka.[1]

Sumber dan penyebab menyimpangnya aqidah
Aqidah itu wajib dijaga kemurniannya, tidak boleh ada penyimpangan atau penyelewengan. Karena, kalau aqidahnya menyimpang berarti keimanannya rusak, akibatnya semua amal tidak diterima. Sebab syarat diterimanya amal itu adalah iman, dalam arti iman yang benar, yang tidak menyimpang.

Sumber dan penyebab menyimpangnya aqidah perlu diketahui, di antaranya sebagai berikut.

1. Akal yang tidak sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Juga kebodohan terhadap aqidah shahihah. Contoh akal yang tak sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah adalah akal Iblis, yaitu dengan akalnya iblis menentang Allah SWT.

قال ما منعك ألا تسجد إذ أمرتك قال أنا خير منه خلقتني من نار وخلقته من طين.

“Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Menjawab iblis: “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS Al-A’raaf: 12).

Di samping itu, kebodohan terhadap aqidah yang benar mengakibatkan tidak bisa membedakan mana yang haq dan mana yang bathil. Kebodohan itu disebabkan beberapa faktor di antaranya karena tidak mau mempelajari, tidak diajari sejak kecil hingga tua, bahkan di kalangan Muslimin belum tentu diajarkan aqidah yang benar, karena enggan, karena kurang perhatian, dan ada pula karena desakan yang dahsyat dari pengaruh aqidah-aqidah yang bathil. Maka para ulama, ustadz, da’i dan para orang tua hendaknya memperhatikan ummat dan generasi Muslim agar mereka mengenal aqidah yang benar, supaya tidak tersesat.

2. Mengikuti hawa nafsu. Allah SWT berfirman:

ولا تطع من ……………………………………… أمره فرطا.

“Dan janganlah kamu ikuti orang yang hatinya telah kami lalaikan dari mengingati Kami, dan menuruti hawa nafsunya, dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS Al-Kahfi: 28).

Nabi Muhammad Saw bersabda:

إياكم والغلو في الدين فإنما هلك من كان قبلكم بالغلو.

“Iyyaakum walghuluwwa fid diini fainnamaa halaka man kaana qoblakum bilghuluwwi.”

Artinya:

“Jauhilah oleh kamu sekalian sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama karena sesungguhnya rusaknya orang dulu sebelum kamu itu hanyalah karena ghuluw.[2]

3. Karena menirukan penyelewengan tingkah laku pemeluk agama-agama terdahulu. Nabi Saw bersabda:

لتركبن سنن من كان قبلكم شبرا بشبر وذراعا بذراع حتى لو أن أحدهم دخل جحر ضب لدخلتم وحتى لو أن أحدهم جامع امرأته بالطريق لفعلتموه.

“Latarkabunna sunana man kaana qoblakum syibron bi syibrin wadziroo’an bi dziroo’in hattaa lau anna ahadahum dakhola juhro dhobbin ladakholtum wa hattaa lau anna ahadahum jaama’am-ro’atahuu bit-thoriiqi lafa’altumuuhu.”

Artinya:

“Pasti kamu sekalian benar-benar akan melakukan perbuatan-perbuatan orang yang telah ada sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga seandainya salahsatu mereka masuk lobang biawak pasti kamu masuk (pula), dan sampai-sampai seandainya salahsatu mereka menyetubuhi perempuannya di jalan pasti kamu sekalian melakukannya (pula).[3] Mengikuti kelakuan orang-orang dahulu (Ahli Kitab: Yahudi dan Nasrani) dalam kasus yang dikemukakan Nabi Saw itu tentang keburukan. Sedang mengenai hal-hal yang disyari’atkan untuk umat-umat terdahulu pun tidak boleh dilakukan, kecuali kalau dibolehkan oleh Nabi SAW. Karena Nabi SAW bersabda:

“…والله لو كان موسى حيا لما وسعه إلا أن يتبعني.”

“…Walloohi lau kaana Muusaa hayyan lamaa wasa’ahu illaa an yattabi’anii.”

Artinya:

“…Demi Allah, seandainya Musa hidup (sekarang ini) pasti dia tidak ada kelonggarannya kecuali dia harus mengikutiku.” [4]

4. Adat istiadat yang bertentangan dengan Islam, ta’asshub (fanatik suku, golongan dsb), dan taklid buta (mengikuti tanpa tahu dalilnya).

وإذا قيل لهم اتبعوا …………………………………….. ولا يهتدون.

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab: (Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat peunjuk?” (QS Al-Baqarah: 170).

Setelah kita bicarakan sumber-sumber pokok pengambilan dan manhaj Islam, demikian pula kita waspadai sumber-sumber penyelewengan aqidah Islam, mudah-mudahan kita terbebas dari segala penyelewengan. Sehingga iman dan Islam kita benar-benar lurus sesuai tuntunan Rasulullah SAW. Mudah-mudahan. Amien.

Mendeteksi Sumber Penyimpangan:
Yahudinisasi Lewat Tasawuf

1. Orang yang dikuasai Syetan

“Barangsiapa berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al-Quran), kami adakan baginya syaitan, maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan kebenaran dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk.” (QS Az-Zuhruf/43: 36-37).

Ayat ini menerangkan bahwa barangsiapa yang tidak mau membiasakan diri mengingat Allah, dan (juga) berpaling dari ajaran Al-Quran yang telah disampaikan kepada Muhammad SAW, serta berusaha untuk tidak memperhatikannya, dan telah terpengaruh oleh kesenangan hidup di dunia, maka Allah akan menjadikan syaitan sebagai teman eratnya, baik berupa jin maupun manusia.

Syaitan itulah yang selalu mendampingi dan mempengaruhinya, sehingga tertanamlah dalam pikirannya anggapan yang tidak baik, yaitu memandang perbuatan buruk sebagai perbuatan baik. Karena itu, hatinya makin lama makin tertutup, tidak mau menerima kebenaran. Semakin lama tutupan itu semakin kuat dan rapat, sehingga tidak ada suatu celah pun yang mungkin dimasuki cahaya Ilahi. Ayat yang lain yang sama artinya dengan ayat ini, ialah firman Allah SWT:

Artinya: “Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka, seperti mereka tidak beriman kepadanya (Al-Quran) pada permulaan nya dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan yang sangat.” (QS Al-An’aam [6]:110).

Makin lama syaitan mendampingi seseorang, makin lama pula ia bergelimang dalam kesesatan dan semakin kuat pula tutupan yang menutup hatinya. (Al-Quran dan Tafsirnya, Depag RI, juz 25, hal 117).

Di dalam hadits dijelaskan sebagai berikut:

Qoola Rasuulullahi SAW: “Innal mu’mina idzaa adznaba dzanban kaanat nuqthotun saudaau fii qolbihii, fain taaba wa naza’a wasta’taba tsaqula qolbuhuu, wa in zaada zaadat hattaa ta’luwa qolbuhuu.”

Artinya:
Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya orang yang beriman, apabila ia mengerjakan perbuatan dosa maka terjadilah satu titik hitam di dalam hatinya. Lalu apabila ia bertobat, mencabut perbuatannya, dan menyesal, maka cemerlanglah hatinya. Dan jika ia tambah (berdosa) maka bertambahlah titik hitam itu sehingga tertutuplah hatinya.” (HR At-Tirmidzi, Ibnu Jarir – At-Thabari dari Abu Hurairah, Tafsir Depag RI, Juz 25, halaman 118).

Menurut Az-Zajzaj, arti ayat ini (QS Az-Zukhruf: 36) ialah: “Barangsiapa yang berpaling dari Al-Quran dan tidak mengikuti petunjuknya, pasti ia mendapatkan siksaan dari Allah SWT; akan didekatkan kepadanya syaitan yang terus menerus menggodanya agar ia menempuh jalan yang sesat.”

Riwayat lain menyebutkan, ayat itu turun berkenaan dengan tingkah orang-orang kafir Quraisy:

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Muhammad bin Utsman Al-Makhzumi bahwa orang-orang Quraisy berkata, “Dampingkanlah kepada setiap sahabat Muhammad seorang dari kita untuk mempengaruhinya.”

Maka mereka mendampingkan Thalhah bin Ubaidillah (orang kafir Quraisy) kepada Abu Bakar. Maka datanglah Thalhah kepada Abu Bakar, waktu itu ia sedang berada di tengah-tengah kaum Quraisy, lalu Abu Bakar bertanya:

“Apa yang kamu serukan kepadaku?”
Thalhah menjawab: “Aku menyeru engkau untuk menyembah Al-Laata dan Al-’Uzza.”
Abu Bakar bertanya:”Apa Al-Laata itu?”
Thalhah menjawab: “Anak-anak laki-laki Allah.”
Abu Bakar bertanya: “Apa Al-’Uzza itu?”
Thalhah menjawab: “Anak-anak perempuan Allah.”
Abu Bakar bertanya lagi: “Siapa ibu mereka?”
Thalhah terdiam dan tidak dapat menjawabnya.
Lalu Thalhah berkata kepada teman-temannya: “Jawablah pertanyaan orang ini.”
Teman-temannya itu terdiam pula. Maka Thalhah berkata: “Berdirilah hai Abu Bakar, aku mengakui bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.” Maka turunlah ayat ini (yaitu QS Az-Zukhruf: 36). (ibid, hal 118-119).

Dalam ayat 37 QS Az-Zukhruf dijelaskan, akibat bagi seseorang yang selalu didampingi syaitan, yaitu syaitan itu selalu berusaha menghambat mereka (agar tidak bisa) menempuh jalan lurus, jalan yang diridhai Allah, serta berusaha menimbulkan keyakinan dan anggapan pada pikiran orang itu bahwa jalan sesat yang dtempuhnya itu adalah jalan yang benar, dan setiap kebenaran yang disampaikan kepadanya dianggap sebagai jalan yang sesat. (ibid, hal 119).

2. Mengaku Muslim sambil memusuhi Islam

Meskipun dalam riwayat asbabun nuzul (sebab turunnya ayat) itu mengenai orang kafir Quraisy, namun bukan berarti yang bisa dikuasai syaitan itu hanya orang-orang kafir. Bahkan orang Islam yang kurang taat pun dikuasai syaitan. seperti ditegaskan oleh Nabi SAW:

“Maa min tsalaatsatin fii qoryatin walaa badwin laa tuqoomu fiihim sholaatul jamaa’ati illas tahwadza ‘alaihimus syaithoonu. Fa’alaikum bil jamaa’ati, fainnamaa ya’kuludz dzi’bu minal ghonamil qooshiyah.”

“Tidaklah dari tiga orang di suatu kampung atau pedusunan yang di dalam mereka itu tidak ditegakkan shalat jama’ah, kecuali mereka pasti akan dikuasai oleh syetan. Maka wajib atas kamu shalat jama’ah. Karena sesungguhnya srigala itu hanya akan menerkam kambing yang jauh dari kawannya.” (HR Ahmad, Abu Dawud, An-Nasai, dan Al-Hakim, berderajat shahih).

Betapa banyaknya kampung-kampung yang mungkin sekali dihuni oleh orang-orang Muslim namun di sana sepi dari shalat berjama ‘ah. Maka pantas sekali kalau hati mereka telah dikuasai oleh syaitan, hingga kebringasan, kejahatan, penipuan, penghalangan terhadap Islam terjadi di mana-mana. Padahal mereka mengaku Islam, namun tidak jarang mereka pula yang mati-matian mengganjal dan mempecundangi Islam, bahkan sekuat-kuatnya untuk memberantas orang-orang mu’min yang bercita-cita menegakkan Islam.

Bahkan ada dedengkot-dedengkot perusak Islam yang terang-terangan membela non Muslim dalam berbagai hal, padahal dirinya tidak mau kalau disebut antek Yahudi, Zionis, antek Nasrani, atau antek Konghu chu. Padahal mereka jelas-jelas ikut memeriahkan bahkan menghadiri perayaan hari-hari raya orang-orang kafir atau musyrik musuh Allah SWT itu, dan memperjuangkan aspirasi musyrikin dan kafirin itu.

Mereka tidak malu-malu mengaku dirinya sebagai tokoh Islam, bahkan mulutnya bisa berdalih dengan dalih nasionalisme, demokrasi, dan sebagainya yang telah mereka jadikan berhala, sehingga syaitan telah menguasai mereka, dan mereka menganggap bahwa diri mereka itu mendapat petunjuk, sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT tersebut. Sehingga, sifat syaitan sebagai musuh Allah yang nyata dan musuh mukminin telah hinggap dan bersarang di dada-dada mereka, di antaranya mereka lego lilo/ tulus ikhlas bila yang dibantai itu ummat Islam.

Padahal, kalau mereka mau meneladani sikap Rasulullah saw yang beliau itu dijamin oleh Allah SWT sebagai uswatun hasanah (teladan yang baik) tentu mereka faham bahwa Rasulullah saw tidak pernah mengucapi selamat Natal kepada para pendeta maupun rahib. Padahal Rasulullah saw juga sebagai pemimpin bangsa, negara, bahkan Ummat Islam sedunia. Mengucapi selamat Natal pun tidak, apalagi menghadiri upacara Natalan, dan lebih tidak lagi berpidato pada upacara orang-orang kafirin musyrikin itu.

Tetapi kenapa Presiden Gus Dur hadir pada upacara Natalan, bahkan berpidato menyambutnya? Padahal, dia dijuluki kiai, bahkan ada yang menyebutnya wali, meski dia sendiri menganggap orang yang menyebutnya wali itu orang yang tak bertanggung jawab. Kenapa pula Amien Rais (ketua MPR, bekas ketua organisasi Islam Muhammadiyah), Akbar Tanjung (ketua DPR, bekas ketua umum organisasi mahasiswa HMI), dan Megawati anaknya Soekarno (wakil presiden, dan sudah pernah berhaji) hadir pada upacara kemusyrikan itu.

Kalau memang mereka benar-benar percaya kepada Nabi Muhammad saw, apakah pernah Nabi mencontohi hadir, berpidato, atau mengucapi selamat Natal seperti yang mereka lakukan itu? Dan kenapa pula Prof Dr HM Quraish Shihab yang disebut ahli tafsir lulusan Mesir itu ngotot menulis fatwanya tentang bolehnya mengucapi selamat Natal kepada orang Nasrani? Adakah contoh dari Nabi Muhammad saw yang seperti itu? Mau dibawa ke mana Ummat Islam Indonesia ini oleh para tokoh yang mengaku dirinya Muslim bahkan sebagai ketua-ketua atau mantan ketua lembaga atau organisasi Islam, namun memberi contoh yang sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw itu?

Yang dicontohkan oleh Nabi saw justru tantangan untuk mubahalah, atas perintah dari Allah SWT:

“Siapa yang membantahmu tentang kisah ‘Isa setelah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (QS Ali ‘Imran: 61).

Mubahalah ialah masing-masing pihak di antara orang-orang yang berpendapat, mendo’a kepada Allah dengan sungguh-sungguh agar Allah menjatuhkan laknat kepada pihak yang berdusta. Nabi mengajak utusan Nasrani Najran bermubahalah tetapi mereka tidak berani, dan ini menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad.(Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, hal 85).

Contoh dari Nabi saw dan merupakan perintah langsung dari Allah SWT adalah seperti tersebut di atas. Namun sebaliknya, sebagian tokoh Islam Indonesia sekarang justru sangat jauh dari keteladanan Nabi saw tersebut. Keberpihakannya malahan nampak berbalik kepada pihak kafirin walmusyrikin. Hingga ketika ada gereja yang dirusak orang, tidak diselidiki dulu penyebab-penyebabnya, dan tidak dicari dulu hukum keabsahan berdirinya menurut Islam, langsung orang-orang yang masih tak malu mengaku Islam itu berani bilang “tembak di tempat” bagi perusak gereja. Padahal, puluhan masjid yang dibakar, dan juga ratusan (mungkin ribuan?) masjid dan musholla yang digusur oleh orang-orang anti Islam, mereka tidak mau tahu, dan pura-pura tidak tahu. Karena memang mereka sendiri, di markas besarnya pun kemungkinan sekali tidak ada masjidnya.

Ada organisasi besar yang mengaku dirinya Muslim, bahkan ulama, namun di markasnya tidak ada masjidnya, dan hanya ada musholla sempit sekali, kotor, dan “dihiasi” dengan sangkar-sangkar burung. Pantas saja kalau mereka ada yang lebih krasan (lebih merasa ni’mat) berkarib-karib dengan orang gereja ataupun memperjuangkan gereja, klenteng dsb. Akibatnya, sangat parah. Yang muda-muda atau pun mahasiswa kelompok mereka tidak malu-malu mencari proyek-proyek dengan bantuan gereja. Bila ditegur temannya sesama Muslim, jawab mereka enteng, “Ah… saya kan tinggal ngikuti saja pemimpin-pemimpin yang di atas.

Orang pimpinan-pimpinan saya (maksudnya para pemimpinnya) juga suka blusak-blusuk (keluar masuk) ke gereja, apa salahnya saya sebagai muqollidnya “berittiba’” (pengikut buta-nya mengikut) kepada mereka?” jawabnya cengengesan (sikap tak bertanggung jawab). Na’udzubillaahi min dzaalik (kita berlindung kepada Allah dari yang demikian itu). Benarlah syaitan telah memperdaya hati mereka, sehingga mereka pandang baik apa-apa yang buruk, dan amat buruk. Memang syaitan sangat berusaha keras untuk menjerumuskan mereka, yaitu siapa saja yang menjadi teman syaitan.

3. Merubah agama Allah

Firman Allah Ta’ala tentang ucapan Syetan;
“… dan akan aku suruh mereka (merubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya.” (An-Nisaa’: 119).

Dalam tafsir Ibnu katsir, merubah ciptaan Allah itu menurut Ibnu Abbas dan lain-lain, berarti merubah diinullaah, agama Allah. (Tafsir Ibnu Katsir, jilid I, halaman 686).

Para ahli bid’ah telah memporak porandakan Islam, diinullah. Dan mereka secara terang-terangan berani menyatakan permusuhannya terhadap mukminin yang menegakkan Islam dengan benar. Musuh besar mereka adalah orang Islam yang konsekuen dan konsisten (istiqomah) dengan Islamnya. Sehingga kalau ahli bid’ah atau orang yang merubah agama Allah itu berkuasa, maka diangkatlah orang-orang yang lihai dalam memusuhi Islam. Dan dibabatlah siapa-siapa yang kira-kira jelas menegakkan Islam.

Karena orang-orang yang merubah diinullah itu di antaranya adalah orang Yahudi dan Nasrani –menurut Al-Quran– maka kaum Ahli Bid’ah pun bergabung dengan Yahudi dan Nasrani serta musyri kin dan kafirin dalam memusuhi Muslimin. Di situ peran munafiqin sangat strategis, berupaya menghancurkan Islam dengan bersekongkol bersama Yahudi cs itu. Akibatnya, orang-orang Islam yang tak kuat imannya akan ikut-ikut pula menjadi munafiq. Dan semakin banyak munafiqnya semakin subur pula pembunuhan terhadap orang Islam ataupun aturan Islam itu sendiri.

Selama ini munafiqin, kafirin, musyrikin, ahli bid’ah dan syaitan-syaitannya telah berhasil membunuh hukum-hukum Islam, hingga tinggal hukum keluarga, yakni nikah, talak, rujuk, waris, hibah, shodaqoh, dan waqaf. Munafiqin, Yahudi, Nasrani, kuffar, musyrikin dan syaitan-syaitannya kini sudah siap dan beraksi lebih lagi. Hukum perkawinan pun mulai diugrag-ugrag (dikutik-kutik) lagi. Kata mereka, hukum perkawinan yang berlaku ini diskriminatif.

Orang-orang yang tidak rela adanya hukum Islam yang masih “tersisa” sedikit itu justru biasanya tidak rela pula kalau pelacuran dihapus. Jadi benar-benar pikiran syaitanlah yang telah menguasai jiwa mereka; menggempur hukum Islam tentang perkawinan, sambil “memperjuangkan” berlangsung tumbuh suburnya pelacuran. Itulah misi mereka, misi syaitan. Benar-benar mereka itu musuh orang Muslim, yaitu syaitan yang berujud manusia, artinya manusia yang telah menjadi syaitan.

Meskipun demikian, orang Muslim yang sejati tidak usah berkecil hati. Ada penjelasan sebagai berikut.

4. Orang yang menegakkan kebenaran Islam:

“Maka bersabarlah kamu untuk melaksanakan ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka.” (QS Al-Insaan/76: 24).

Nabi SAW bersabda: “Laa tazaalu thooifatun min ummatii dhoohiriina ‘alal haqqi laa yadhurruhum man khodzalahum hattaa ya’tiya amrulloohi wahum kadzaalika.”

“Senantiasa masih ada sekelompok dari ummatku yang selalu menang/unggul dalam menegakkan kebenaran. Mereka tak peduli dengan orang-orang yang menghinakan mereka sehingga datang perintah Allah (hari kiamat)dan mereka tetap demikian.” (HR Al-Bukhari 3641, dan Muslim 1920,) dari Hadits Mu’awiyah ra. Selain Mu’awiyah ada beberapa orang shahabat lainnya meriwayatkan hadits Thaifah Manshuroh ini. Syaikh Al-Albani menjelaskan takhrij hadits ini dalam kitabnya Silsilah Ahadits As-Shahihah, juz 1 nomor 270.

Sabda Nabi SAW:

“Innal Islaama bada’a ghariiban wa saya’uudu ghoriiban kamaa bada’a, fathuubaa lilghurobaa’i.”
“Sesungguhnya Islam pada permulaannya adalah asing dan akan kembali menjadi asing seperti pada permulaannya. Maka keuntungan besar bagi orang-orang yang asing.” (HR Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan:
Maka keuntungan besar bagi orang-orang yang asing: yaitu orang-orang yang (tetap) berbuat baik ketika manusia sudah rusak.” (Al-Albani berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Amr Ad-Dani dengan sanad shahih, lihat Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Minhajul Firqoh an-Najiyah wat Thoifah al-Manshuroh, diterjemahkan menjadi Jalan Golongan yang Selamat, Darul Haq, Jakarta, cet I, 1419H, halaman 7-8).

Sabda Nabi SAW:
“Maka keuntungan besar bagi orang-orang yang asing, yaitu orang-orang sholeh yang hidup di tengah orang banyak yang buruk perangainya, di mana orang yang mendurhakainya lebih banyak daripada orang yang mentatatinya.” (HR Ahmad, shahih).

Nabi SAW bersabda: “Orang yang paling pedih musibahnya di dunia ini ialah para nabi, kemudian orang-orang sholeh.” (HR Ibnu Majah).
Nabi SAW bersabda:
“Tidak boleh taat kepada pemimpin dalam hal ma’siat kepada Allah, karena kewajiban taat hanya dalam urusan yang baik.” (HR Al-Bukhari).

5. Siapakah yang menegakkan kebenaran Islam itu?

Orang-orang yang dikuasai syetan (yaitu yang berpaling dari Al-Quran, tidak shalat berjama’ah, dan merubah agama Allah) berhadapan dengan orang-orang yang menegakkan kebenaran Islam.

Yang menegakkan kebenaran Islam itu siapa?
Apakah yang memahami Islam dengan filsafat, dengan sosiologi, antropologi, metodologi Barat, demokrasi, nasionalisme, kebudayaan, adat dsb? Bukan.
Hanya dengan Al-Quran? Bukan Hanya dengan Al-Hadits? Bukan. Dengan Al-Quran dan Hadits namun menurut pendapat masing-masing? Bukan. Tetapi dengan Al-Quran dan As-Sunnah sesuai dengan penjelasan Rasulullah SAW yang diwarisi oleh generasi terbaik, yaitu salaful ummah, ummat terdahulu, yaitu tiga generasi pertama, alias sahabat Nabi SAW, Tabi’in, dan Tabi’it Tabi’en.

Apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah saw dan diwarisis serta dilaksanakan oleh para sahabat itu apabila ditentang, dan bahkan mengambil jalan lain maka diancam oleh Allah SWT:

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisaa: 115).

Untuk mempertahankan diri agar tetap menjadi orang mukmin yang menegakkan Islam secara benar, maka perlu mengetahui di mana sumber-sumber penyimpangan Islam terjadi. Berikut ini penjelasannya.

6. Sumber-sumber penyimpangan

6.1. Akal yang tidak tunduk kepada wahyu

Kata Iblis: “Ana Khairun minhu, kholaqtanii min naarin wa kholaqtahuu min thiin”.
Kata Iblis: “Saya lebih baik daripada Adam, Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (Al-A’raaf:12).

6.2. Al-hawa’: hawa nafsu dan sikap ghuluw

Ada serombongan sahabat nabi datang menanyakan ibadah Nabi kepada isteri-isterinya, lalu mereka menganggap diri mereka masih sangat sedikit ibadahnya dibanding dengan Rasulullah SAW. Lalu yang pertama, mau puasa terus sepanjang tahun tidak berbuka. Yang kedua akan bangun malam dan tidak tidur. Yang ketiga akan menjauhkan diri dari perempuan dan tidak akan kawin selama-lamanya. Maka setelah berita itu sampai kepada Rasulullah SAW beliau menjelaskan kekeliruan dan tidak lurusnya jalan mereka, dan beliau bersabda:

“Innamaa ana a’lamukum billaahi wa akhsyaakum lahu, walaakinnii aquumu wa anaamu, wa ashuumu wa ufthiru, wa atazawwajun nisaa’a, faman roghiba ‘an sunnatii falaisa minnii.”

Saya adalah orang yang kenal Allah dan paling takut kepada-Nya, namun saya bangun dan tidur, puasa dan berbuka, dan saya beristerikan wanita-wanita. Oleh karena itu barangsiapa membenci sunnahku maka dia bukan dari golonganku.” (HR Al-Bukhari).

“Iyyaakum wal-ghuluw fid diini fainnamaa halaka man kaana qoblakum bil ghuluwwi.”

“Jauhilah oleh kalian ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama. Karena sesungguhnya rusaknya orang sebelum kamu sekalian itu hanyalah karena ghuluw.” (HR Ahmad, An-nasaa’i, Ibnu Majah, dan Al-Hakim, dari Ibnu Abbas, shahih).

Allah SWT berfirman: “Walaa tuthi’ man aghfalnaa qolbahuu ‘an dzikrinaa wattaba’a hawaahu wakaana amruhu furuthoo.” Dan janganlah kamu ikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, dan menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas. (Al-Kahfi:28).

6.3. Karena pengaruh agama-agama terdahulu

Nabi SAW bersabda: “Latarkabunna sunana man kaana qoblakum syibron bi syibrin wa dziroo’an bi dziroo’in hattaa lau anna ahadahum dakhola juhro dhobbin ladakholtum wa hatta lau anna ahadahum jaama’amroatahu bit thoriiqi lafa’altumuuhu.”

Pastilah benar-benar kamu sekalian akan melakukan kelakuan-kelakuan orang dulu sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga seandainya salahsatu mereka masuk lobang biawak pasti kalian masuk (pula), sampai-sampai seandainya salahsatu mereka menyetubuhi isterinya di jalan pasti kalian melakukan (pula). (HR Al-Hakim dari Ibnu abbas, shahih).

- Contoh, berpakaian, bergaya hidup, dan bahkan dalam memusuhi Islam atau meremehkan Islam, mereka telah meniru-niru Yahudi dan Nasrani.

6.4. Mengikuti adat istiadat yang bertentangan dengan Islam

Misalnya judi, selamatan orang mati dsb.

Qoola Jarir RA: “Kunnaa narol ijtimaa’a ilaa ahlil mayyiti wa shonii’atat tho’aami ba’da dafnihi lighoirihim minan niyaahah.”

Jarir RA berkata: “Kita berpendapat bahwa mengadakan kumpulan bersama-sama pergi ke keluarga orang mati dan membuat makanan untuk disajikan kepada para tamu setelah dikuburnya/ ditanamnya mayit, hukumnya termasuk meratapi mayit.” (Riwayat Ahmad).

Di Zaman sahabat Nabi SAW tingkah kumpul-kumpul, makan-makan setelah dikuburnya mayat itu dinilai sebagai niyahah/meratap. Sedang meratap adalah perbuatan jahiliyah yang diharamkan oleh Nabi SAW. Namun, kini para ahli bid’ah dan pengikutnya sangat doyan menggede-gedekan acara tahlilan selamatan orang mati. Setelah kita tahu orang-orang yang dikuasai syetan dengan sifat-sifatnya, orang-orang yang menegakkan Islam yang benar dengan sifat-sifatnya, dan juga mengetahui sumber-sumber penyimpangan, maka ketahuilah bahwa tasawwuf itu ada dalam jalur yang diliputi sumber-sumber penyimpangan itu.

7. Yahudinisasi lewat Tasawwuf

Ada penyimpangan lewat akal. Ada yang lewat hawa nafsu. Ada yang karena ghuluw atau berlebih-lebihan, ada yang karena meniru-niru Yahudi dan Nasrani, dan ada yang karena adat istiadat yang bertentangan dengan Islam. Dan itu semua kini didukung oleh Yahudi internasional, dengan cara membelajarkan dosen-dosen perguruan tinggi Islam (IAIN) ke Barat dengan istilah studi Islam, dengan hujjah belajar metodologi kritis. Padahal, studi Islam di Barat itu menurut hasil seminar pakar-pakar Islam di London, hanyalah menganggap Islam sebagai budaya Timur yang tidak sampai sebesar Hindu dan Budha. Sedang materi yang diajarkan Barat dalam studi Islam itu hanyalah sufisme (tasawwuf). Sedang tujuannya adalah tahwidiyyah / Yahudinisasi, menurut hasil seminar tersebut.

Mari kita simak kutipan berikut:

Bukti dari Al-Ghazwul Fikri (serangan pemikiran) yang dilangsungkan Barat terhadap dunia Islam pun diseminarkan di London Oktober 1993. Inti pembahasan tentang studi Islam di Barat, dalam seminar internasional Islam II itu, bahwa seluruh program studi Islam di perguruan tinggi Barat arahnya adalah Yahudinisasi ataupun Yudhaisme, yang memandang Islam itu perannya tak sebesar Yahudi, dan bahkan tak sampai setarap dengan agama-agama di Timur seperti Hindu dan Budha. Sedang para guru besar Studi Islam di Barat tidak faham tentang Islam, ajaran yang disebut studi Islam hanya melulu tentang sufisme (tasawuf), dan guru besar yang mengerti bahasa Arab sebagai sumber utama untuk merujuk kitab-kitab Islam hanya 15% (Lihat buku Bila Hak Muslimin Dirampas, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 1994, hal 107-108).

Apa itu Yahudinisasi? Secara mudahnya adalah apa yang kini disebut pluralisme atau kadang dengan halus disebut agama Ibrahim (Ini sejalan pula dengan istilah inklusivisme dan pluralisme, baca pada bab yang membahas masalah itu di buku ini). Yaitu penyebaran keyakinan yang tidak membolehkan ummat Islam ini “mengklaim kebenaran”. Hingga para antek yang menyebarkan Yahudinisasi ini tidak membenarkan ummat Islam yang mengakui bahwa agama Islam sajalah yang benar. Mereka terang-terangan menyalahkan Muslimin yang meyakini bahwa Islam sajalah yang benar di sisi Allah.

Di antara yang menyalahkan Ummat Islam yang berkeyakinan bahwa Islam sajalah yang benar, contohnya adalah Dr Alwi Shihab. Ia menuduh ummat Islam tak sedikit yang gagal dalam menangkap makna dari kata Islam, dan dengan sendirinya (menurut tuduhan Alwi Shihab yang kini Menteri Luar Negeri RI itu) membenarkan sikap eklusivisme. Ini menyangkut Al-Quran dalam surah Ali Imran ayat 19 dan 85. Alwi Shihab menulis tuduhan terhadap Muslimin itu di Majalah Gatra No 9 Tahun V, 16 Januari 1999 dengan judul Muslim-Kristen.

Kepada Dr Alwi Shihab perlu dikomentari, dengan liciknya dia telah menyembunyikan keterangan tentang kafirnya orang non Muslim setelah diutusnya Nabi Muhammad saw. Alwi Shihab dengan mengecam Muslimin, ditambah dengan menyembunyikan keterangan yang haq tentang kafirnya pemeluk agama apapun selain Islam setelah diutusnya Nabi Muhammad saw, itulah cara Alwi Shihab dalam menjajakan sikap mengimani sebagian ayat-ayat Allah dan mengingkari sebagian lainnya. Dalam hadits shahih riwayat Imam Muslim ditegaskan:
‘An Abii Hurairota ‘an Rasuulillahi saw annahu qoola: “Walladzii nafsi Muhammadin biyadihi, laa yasma’u bii ahadun min haadzihil Ummati Yahuudiyyun walaa nashrooniyyun tsumma yamuutu walam yu’min billadzii ursiltu bihii illaa kaana min ash-haabin naari.” (Muslim).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, tidaklah seseorang dari Ummat ini yang mendengar (agama)ku, baik dia itu seorang Yahudi maupun Nasrani, kemudian dia mati dan belum beriman dengan apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka.” (Hadits Riwayat Muslim bab Wujubul Iimaan birisaalati nabiyyinaa saw ilaa jamii’in naasi wa naskhul milal bimillatihi, wajibnya beriman kepada risalah nabi kita saw bagi seluruh manusia dan penghapusan agama-agama dengan agama beliau).

Yang perlu ditegaskan pula adalah: lafal min ash-haabin naari (termasuk penghuni neraka), di situ orang-orang yang tidak mau masuk Islam itu statusnya bukan sekadar mampir ke neraka, namun justru penghuni neraka. Dalam uraian lain di buku ini dijelaskan, orang-orang yang kekal di neraka itu adalah orang-orang kafir, karena yang masih ada imannya maka akan dientas dari neraka dan dimasukkan ke surga. (lihat buku ini pada bab Kebohongan dan kesesatan Islam Jama’ah, Lemkari, LDII). Hadits shahih dan jelas maknanya semacam ini pun masih disembunyikan oleh orang-orang semacam Dr Alwi Shihab dan konco-konconya. (lihat tanggapan terhadap Dr Alwi Shihab itu dalam Buku ”Di Bawah Bayang-bayang Soekarno Soeharto, Tragedi Politik Islam Indonesia dari Orde Lama hingga Orde Baru,” oleh Hartono Ahmad Jaiz, terbitan Darul Falah Jakarta, 1420H, hal 153).

Kembali ke masalah penikaman terhadap Islam, biasanya alumni Barat yang menyebarkan Yahudinisasi itu kini rajin sekali menjajakan tasawwuf. Dari sanalah di antaranya Islam itu ditikam, setelah upaya Yahudinisasi itu ramai-ramai dihujat oleh majalah Media Dakwah sejak 1992 selama 19 bulan bertutrut-turut. Hingga ada judul cover majalah itu: Ujung Pemikiran Nurcholish, dengan gambar ujungnya adalah Zionisme.

Sehabis itu mereka yang menjajakan Yahudinisasi itu menikam Islam lewat tasawwuf bersama orang Syi’ah dan lainnya. Maka tak mengherankan, sosok dedengkot Syi’ah di Indonesia seperti Jalaluddin Rachmat sangat getol (bersemangat) menjajakan tasawuf di mana-mana, bahkan bagai kemaruk. Contohnya, di Bulan Ramadhan 1421H, kadang Jalaluddin Rachmat itu menyebarkan tasawuf lewat dua televisi dalam waktu bersamaan, yang satu siaran langsung, dan yang lain rekaman.

Padahal, apa-apa yang ditampilkan di televisi yang disebut acara tasawuf misalnya di Anteve itu merupakan acara yang sangat menyesatkan dan merusak Islam. Contohnya, seorang dosen perempuan dari Bandung yang biasa membawakan acara tasawuf di Anteve, ketika berbincang-bincang dengan nara sumber seorang doktor perempuan dosen di Bogor, lalu pembawa acara itu mengemukakan cerita sufi yang kaitannya dengan feminisme. Pembawa acara itu mengemukakan cerita sufi, katanya ada seorang syaikh yang masuk ke hutan, lalu binatang-binatang hutan semuanya tunduk, sampai-sampai ular pun bersedia jadi tongkatnya. Maka syaikh itu ditanya oleh muridnya, apa rahasianya? Ternyata rahasianya adalah: Syaikh ini senantiasa diam saja (sabar) ketika dia diomeli oleh isterinya.

Nah, cerita-cerita yang sangat tidak mutu model inilah yang menjadi landasan tasawuf itu dari berbagai seginya. Yang hal itu di zaman Ali bin Abi Thalib saja tukang ceritanya sudah diusir dari masjid, dilarang masuk masjid. Memang timbulnya tukang nasihat dengan cerita-cerita itu sejak zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib, dan mereka pun dilarang masuk masjid untuk bercerita oleh Khalifah. Bahkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan untuk memenjarakan tukang-tukang cerita dan para pendengarnya. Berikut ini penjelasannya:

Munculnya bid’ah dongeng

Munculnya bid’ah tukang-tukang cerita (pendongeng/ qosshosh) adalah pada masa Ali RA, lalu mereka itu ditolak oleh para sahabat dan tabi’in.

Muhammad bin Waddhoh meriwayatkan dari Musa bin Mu’awiyah, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu Mahdi dari Sufyan:

“Dari Ubaidillah bin Nafi’, ia berkata: Belum ada orang berkisah (mendongeng) pada masa Nabi SAW, tidak pula di masa Abu Bakar, tidak di masa Umar, dan tidak di masa Utsman. Dan pertama kali adanya dongeng itu ketika adanya fitnah (pembunuhan terhadap Utsman 35H).

Pendongeng (qosshosh) adalah juru nasihat yang mengadakan majelis-majelis untuk nasihat meniru majelis ta’lim. Pendongeng itu menasihati orang-orang di majelis dengan cerita-cerita dan kisah-kisah Israiliyyat dan semacamnya, berupa cerita yang tidak mempunyai sumber asalnya, atau suatu tema/ judul, atau berupa cerita yang tidak bisa dijangkau akal umum.

Sungguh Ali bin Abi Thalib RA telah melarang mereka –lihat Tahdzirul Khowas oleh As-Suyuti 213, dan Al-Bida’ wan nahyu ‘anha 16– karena mereka mulai mendongengi orang-orang dengan yang aneh-aneh dan hal-hal yang samar (mutasyabihat) dan cerita yang tidak terjangkau oleh akal mereka dan yang tidak mereka kenal.

Ibnu Umar telah memerintahkan polisi untuk mengeluarkan (mengusir) tukang-tukang cerita dari masjid-masjid. Dan Umar bin Abdul Aziz telah memenjarakan tukang-tukang cerita dan orang-orang yang duduk bersama mereka.

Yang demikian itu bukan berarti terlarang menasihati. Dahulu Nabi SAW telah memberikan nasihat kepada para sahabat. Dan para sahabatnya pun demikian pula, serta generasi salafus shalih sesudahnya. Yang dilarang hanyalah menasihati dengan cerita-cerita yang tidak ada sumber asalnya (al-Quran atau al-Hadits atau riwayat yang shahih), dan bercerita dengan keanehan-keanehan dan perkara-perkara yang kacau, yang samar-samar, dan yang tidak terjangkau akal manusia pada umumnya, berupa masalah-masalah ghaib, tentang qadar, dan hal-hal yang membingungkan akal. Dan dilarang pula penasihat-penasihat yang bodoh yang membinasakan.Wallahu a’lam.

( Sumber:
1. Dr Nashir bin Abdul Karim Al-’Aql, Al-Ahwa’ wal Firaq wal Bida’ ‘Ibra Tarikh al-Islami Masirotu Rokbi as-Syaithan, Darul wathan, Riyadh, Cetakan I, 1415H.
2. Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Al-Bid’atu; ta’rifuha, anwa’uha, ahkamuha, Darul ‘Ashimah, Riyadh, cetakan I, 1412H.
3. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithah bainal Haqqi wal Khalq, dimuraja’ah Muhammad Jamil Zainu, Percetakan Universitas Islam Madinah, cetakan pertama).

Adapun contoh lain penyesatan tasawuf yang ditikamkan kepada Islam secara sistematis oleh intelektualnya di Indonesia di antaranya silakan baca tanggapan buku ini pada judul Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Isinya menanggapi tikaman Nurcholish Madjid yang menafsiri ayat Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in menurut tasawuf, yang sangat menyesatkan.

Memang tasawwuf itu sendiri bibit utamanya di antaranya dari filsafat Yunani, Nasrani, dan Hindu; maka pas lah untuk sarana menikam Islam dari dalam, karena orang yang tertipu selama ini menganggap bahwa tasawwuf itu bagian dari ajaran Islam.

Padahal justru penyimpangan, sebenarnya. Kalau toh mau mentolerir tasawuf itu hanyalah bisa terhadap bagian yang sedikit, pada awal-awal ketika masih sekadar tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) yang belum tercemar oleh filsafat dan macam-macam bid’ah.

Kalau memang masih sekadar tazkiyatun nafs dan tidak ada unsur bid’ah dan lebih-lebih pula bid’ah aqidah yang dibawa oleh filsafat, maka masih bisa ditolerir. Tetapi, dari segi manhaj (pola, jalan, sistem) tasawuf itu sendiri yang sedemikian longgar dalam mengambil sumber (di antaranya mimpi-mimpi syaikh, alamat-alamat dikait-kaitkan dengan keghaiban dan bahkan cerita-cerita aneh seperti tersebut di atas) maka sejatinya tasawuf itu sudah jauh dari manhaj Islam yang shahih.

Dan justru di situlah pintu masuk yang dianggap paling strategis oleh musuh-musuh Islam terutama Yahudi. Mereka tidak menyia-nyiakan pintu bahaya itu, hingga dibikinlah program canggih secara sistematis dan tingkatnya internasional dengan mengkader putra-putra bangsa Muslimin sedunia yang cerdas untuk menjadi antek-antek Yahudi yang merusak Islam dari dalam, lewat tasawuf, demi menghancurkan Islam, dengan kedok membangun Islam. (Lebih lengkapnya, baca buku penulis yang berjudul Mendudukkan Tasawwuf, Gus Dur Wali? Darul Falah, Jakarta, Ramadhan 1420H).

Bahkan tasawwuf yang menikan Islam dan kini dijadikan sarana empuk untuk menikam Islam oleh Yahudi dan antek-anteknya itu kini digencarkan lewat televisi-televisi segala, di samping kurus-kursus yang mereka sebut paket-paket kajian tasawwuf.

Untuk lebih “memantapkan” program itu, tampaknya pemerintahan Indonesia sekarang masih merasa belum cukup hanya mengirim 300-an dosen-dosen IAIN ke Barat untuk “studi sufisme” yang bertujuan Yahudinisasi itu. Maka “dengan lapor dan minta restu” (?) kepada Boss Katolik, Paus Yohannes II, Presiden Gus Dur berkunjung ke Vatikan untuk mengemukakan bahwa (saat itu akan) diadakan dialog tiga agama (Yahudi, Nasrani, dan Islam) di Jakarta, Senin 14 Februari 2000M.

Sebuah sumber mengatakan, ketika pihak sumber ini berkeinginan untuk ikut dalam “dialog” maka dijawab oleh panitia, seorang cewek dari Yayasan Paramadina di Jakarta, bahwa acara di Departemen Agama RI itu tertutup. Dan orang-orangnya sudah tertentu.

Siapa mereka? Dari Islam, menurut sumber itu, pembicaranya adalah orang-orang IAIN Jakarta, yaitu Dr Azzyumardi Azra (rektor IAIN Jakarta), Dr Bachtiar Effendi, dan Dr Kautsar Azhari Noer.

8. Mengikuti jejak Annie Besant

Program t kecil dan T besar yang dilontarkan Dr Nurcholish Madjid tahun 1985 untuk mengaburkan makna kalimah thoyyibah, Laailaaha illallaah (Tiada Tuhan selain Allah) menjadi: Tiada tuhan selain Tuhan –t kecil dan T besar– ternyata tidak berhenti sampai di situ. Walaupun sudah terpeleset-peleset sampai untuk menghindari lafal Allah itu dengan kilah bawa Allah itu sebutan bagi Dewa Air, hingga diledek oleh Drs H Ridwan Saidi: Kalau Allah itu Dewa Air, lantas kutu airnya mana?; namun program Yahudinisasi atau pendangkalan Islam, atau tasykik alias peragu-raguan terhadap kebenaran Islam tetap digencarkan.

Drs H Ridwan Saidi pernah menyindir secara telak terhadap rekannya, Dr Nurcholish Madjid, bahwa pemikiran-pemikiran Nur cholish itu tidak jauh beda dengan pemikiran Annie Besant.

Untuk lebih jelasnya, sindiran itu bisa dicari sumber lain, sebenarnya bagaimanakah pemikiran dan missi Annie Besant itu. Prof Dr Hamka dalam tafsirnya, Tafsir Al-Azhar, menjelaskan tentang shobi’un, di sana tertera nama Annie Besant. Tulis Hamka: “…Di dalam al-Quran kita bertemu nama-nama Shabi’un ini sampai tiga kali. Yaitu pada ayat 62 dari Surat al-Baqarah, ayat 69 dari Surat Al-Maidah, dan ayat 17 dari surat Al-Hajj.

Diambil kepada pokok pangkal kata-nya, yaitu shabi’, berarti bahwa shabi’un ialah orang-orang yang keluar dari Nasrani, atau sebagai Muslim dia keluar dari agama Islam, lalu membuat agama sendiri. Inilah pula artinya seketika Rasulullah mencela agama nenek moyangnya kaum Quraisy, maka kaum Quraisy menuduh beliau shabi’ dari agama yang dipeluk oleh nenek moyangnya.

Di negeri Irak sampai sekarang ini masih terdapat satu golongan agama yang dipanggilkan orang shabi’in. Mereka percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa tetapi oleh karena terlalu memperturutkan fikiran sendiri, mereka tidak lagi memeluk agama yang telah ada, lalu memeluk atau membuat agama sendiri. Kaum shabi’in di Irak itu dalam beberapa hal mempercayai ajaran Kristen, tetapi merekapun mempercayai kekuatan bintang-bintang (astrologi), bahwa perjalanan bintang-bintang ada pengaruhnya kepada manusia, sehingga kebanyakan mereka menjadi tukang tenung nasib orang.

Menilik kepada pokok ambilan bahasa ini, maka penulis tafsir ini (Prof Dr Hamka, pen) berpendapat bahwasanya gerakan-gerakan agama yang dicoba orang menyusun di zaman modern ini, seumpama Theosofi yang digerakkan oleh Annie Besant dan Madame Balavatsky di India beberapa puluh tahun yang lalu boleh juga dimasukkan dalam shabi ‘in ini. Sebab maksud gerakan Theosofi ialah hendak mempersatukan atau mencari titik-titik pertemuan segala agama yang ada, lalu Hikmat Ketuhanan. Mulanya mereka tidak bermaksud hendak membuat agama baru, melainkan hendak mempertemukan intisari segala agama, memperdalam rasa kerohanian, tetapi akhirnya mereka tinggalkanlah segala agama yang pernah mereka peluk dan tekun dalam Theosofi.

Pada pendapat saya (Hamka, pen) meskipun dalam tafsir-tafsir lama tidak bertemu pendapat seperti ini, Theosofi adalah semacam Shabi’in juga. Sultan Jalaluddin Muhammad Akbar, Sultan Mongol Islam yang Agung di Hindustan yang terkenal itupun mencoba pula mencari titik-titik pertemuan agama, lalu membangun agama baru, dinamai Din Ilahi (agama Tuhan). Maka disuruhnyalah menyalin Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Persia, dan dipasangnya Api Suci Iran dalam istana di Agra dan beliau suruh menghormati sapi dan meninggalkan memakan dagingnya, dan beliau bertekun ibadat di dalam bulan puasa. Dan inipun semacam shabi ‘in. (Prof Dr Hamka, Tafsir Al-Azhar juz 6, hal 322-323).

Model Theosofi, dengan istilah-istilah yang sering mereka lontarkan yakni mencari titik temu antar agama-agama, memang sering diucapkan oleh kader-kader dari Barat yang belajar “Islam” dari orang-orang Yahudi dan Nasrani. Tidak syak lagi, apa yang mereka sebut universalisme, pluralisme, atau agama Ibrahim, tidak lain adalah pencabutan dari agama Islam, agar keluar dari Islam. Di sinilah
letak bahayanya.

Anehnya, kini bahkan merupakan proyek dan program besar yang didukung oleh penguasa dhalim yang tidak ada pembelaannya terhadap Islam, dan didukung aneka pihak dengan dipayungi oleh Yahudi internasional yang telah menggodok para intelektual dari negeri-negeri Islam lewat “studi Islam di Barat” dengan menggunakan kendaraan tasawwuf untuk menikam Islam.

Maka waspadalah wahai saudara-saudaraku ummat Islam, termasuk pula para intelektual Muslim yang kini terperangkap ke arah sana. Tidak usah anda berbangga sebagaimana bangganya “londo ireng” (Belanda Hitam –pribumi yang jadi antek penjajah dan lebih galak ketimbang penjajahnya sendiri) di zaman penjajahan Belanda.

Akibatnya, mereka (antek-antek penjajah kafir itu) pun hancur, sedang nama busuk pun tertancap pada diri-diri mereka. Sadarilah bahwa tidak mungkin musuh Islam itu tulus ikhlas ingin memajukan Islam, atau mengembangkan Islam. Sebaliknya lah yang ada. Itu sudah hukum alam, menurut istilah saudara. Kalau istilah Islam, ya ayat itu tadi, tentang program-program syetan untuk menipu manusia dengan merubah ciptaan Allah, yaitu merubah diinullaah, agama Allah. Relakah anda disebut sebagai antek syetan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Buku Tamu


ShoutMix chat widget

Tulis disini :


Nama anda
Email anda
Judul
Pesan
Image Verification
captcha
Please enter the text from the image:
[ Refresh Image ] [ What's This? ]