. BONSER 3 MANIA: Pendapat Ulama Salaf tentang Tasawuf,Sufi dan Tareqat
Assalamu'alaikum. Makasih ye dah mo mampir ke blog ane.
Semoga bermanfaat buat ente2 semuanye. Jangan lupe isi
buku tamunye. Follow juga dong kl bisa. Salam sahabat so
much dari ane.

Senin, 08 Maret 2010

Pendapat Ulama Salaf tentang Tasawuf,Sufi dan Tareqat

Beberapa komentar tentang tasawwuf akan menjelaskan bahwa sebenarnya tasawwuf itu berasal dari luar Islam. Berikut ini komentar para ulama dan ilmuwan yang menyoroti tasawwuf.

Syaikh Ihsan Ilahi Dhahir rahimahullah menulis:

“Ketika kita memperhatikan dengan teliti tentang ajaran sufi yang pertama dan terakhir, serta pendapat-pendapat yang dikutip dan diakui oleh mereka di dalam kitab-kitab sufi, baik yang lama maupun yang baru, maka kita akan melihat dengan jelas perbedaan yang jauh antara sufi dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Begitu juga kita tidak melihat adanya bibit-bibit sufi di dalam perjalanan hidup Nabi saw dan para sahabat beliau, yang mereka itu adalah (sebaik-baik) pilihan Allah dari kalangan makhluk-Nya. Tetapi kita bisa melihat bahwa sufi diambil dari percikan kependetaan Nasrani, Brahmana (Hindu), Yahudi, dan kezuhudan Agama Budha.” (Ihsan Ilahi Dhahir, At-Tashawwuf al-Mansya’ wal Mashadir hal 27, seperti dikutip Syaikh Dr Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Haqiqatut Tashawwuf / diterjemahkan menjadi Hakikat Tasawuf, Pustaka As-Salaf, Cet I, 1998/ 1419H, hal 19)

Komentar ilmuwan lainnya hampir sama.

“Jelas bahwa tasawwuf memiliki pengaruh dari kehidupan para pendeta Nasrani, mereka suka memakai pakaian dari bulu domba dan berdiam di biara-biara. Dan ini banyak sekali. Islam memutuskan kebiasaan ini ketika Islam membebaskan setiap negeri dengan tauhid.” (Dr Shobir Tho’imah, Ash-Shufiyyah Mu’taqadan wa Masla­kan, Riyadh, Cet I, 1985M/ 1405H, hal 25, ibid hal 19).

Lebih jelas lagi, komentar berikut ini: “Sesungguhnya tasaw­wuf itu adalah tipuan/ makar paling hina dan tercela. Syetan telah membuatnya untuk menipu para hamba Allah dan memerangi Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Sesungguhnya tasawwuf adalah topeng kaum Majusi agar ia terlihat sebagai orang yang Rabbani (taat pada Tuhan), bahkan juga topeng semua musuh agama ini (Islam). Bila diteliti ke dalam akan ditemui di dalamnya (ajaran kaum sufi, ed) ada Brahmaisme, Budhisme, Zaratuisme, Platoisme, Yahudisme, Nasranisme, dan Paganisme/ Berhalaisme.” (Syaikh Abdur Rahim Al-Wakil rahimahullah, Mashra’ut Tashawwuf, hal 19, ibid hal 19).

Syaikh Al-Fauzan menyimpulkan:

“Jelaslah bahwa sufi adalah ajaran (dari) luar yang menyusup ke dalam Islam. Hal itu tampak dari kebiasaan-kebiasaan yang dinisbatkan kepadanya. Sufi adalah suatu ajaran yang asing (aneh) di dalam Islam dan jauh dari petunjuk Allah ‘Azza wa Jalla.

Yang dimaksud dengan kalangan sufi yang belakangan adalah mereka yang sudah banyak berisi dengan kebohongan. Adapun sufi yang dahulu, mereka masih berada di dalam keadaan netral, seperti Al-Fudhail bin ‘Iyadh, Al-Junaid, Ibrahim bin Adham dan lain-lain.” (Syaikh Dr Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, terjemah Hakikat Tasawwuf, hal 20).

Ucapan-ucapan Orang Shufi Sangat Tidak Layak

Ibnul Jauzi (w 597H) dalam Kitabnya, Talbis Iblis mencontohkan betapa ekstrimnya bualan orang sufi, hingga melewati batas dan menentang Allah SWT.
Karena orang-orang sufi jauh dari ilmu, ungkap Ibnul Jauzi, maka perhatian mereka tertuju kepada amal, lalu mereka sepakat menunjukkan kelemahlembutan yang menyerupai karamah, lalu mereka mengeluarkan berbagai macam bualan.

Diriwayatkan, Abu Yazid Al-Busthamy (tokoh sufi) berkata, “Aku ingin andaikata saja hari Kiamat sudah tiba, sehingga aku bisa memancangkan kemah di Neraka Jahannam.”

“Mengapa begitu wahai Abu Yazid?” tanya seseorang.

Dia menjawab, “Sebab aku tahu bahwa jika Jahannam melihatku, maka apinya akan padam, sehingga aku bisa menolong orang lain.”

Abu Musa As-Syibli berkata, saya mendengar Abu Yazid berkata: “Apabila telah ada hari Kiamat dan Dia memasukkan ahli surga ke surga dan ahli neraka ke neraka, maka mintakanlah padaNya untuk memasukkanku ke neraka. Lalu ditanyakan padanya (Abu Yazid), kenapa? Dia berkata: “Sehingga para makhluk tahu bahwa kebaikan­-Nya dan kelemahlembutanNya di dalam neraka menyertai para wali­-Nya.”

Komentar Ibnul Jauzi: “Benar-benar perkataan yang sangat menji­jikkan, karena dia telah menghinakan apa yang diagungkan Allah, yaitu perintah-Nya kepada Neraka. Padahal Allah juga telah pan­jang lebar menjelaskan masalah Neraka ini, seperti firman-Nya:

”Maka peliharalah diri kalian dari api neraka, yang bahan bakarnya manusia dan batu.” (Al-Baqarah: 24).

“Apabila Neraka itu melihat mereka dari tempat yang jauh, mereka mendengar kegeramannya dan suara nyalanya.” (QS Al-Furqan/25:12).

Dari Abu Hurairah ra, dia berkata,
“Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya neraka kalian ini, yang dinyalakan dengan Bani Adam, merupakan satu bagian dari tujuh puluh bagian dari panas Jahannam.”

Para sahabat berkata, “Demi Allah, itu benar-benar sudah cukup wahai Rasulullah.”

Beliau bersabda,
“Jahannam itu dilebihkan enam puluh tujuh bagian, yang semuanya seperti itu panasnya.” (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim).

Dari Ibnu Mas’ud, dari Nabi saw, beliau bersabda:
Yu’taa bijahannama yaumaidzin lahaa sab’uuna alfa zimaamin ma’a kulli zimaamin sab’uuna alfa malakin yajurruunahaa.”

“Jahannam didatangkan pada hari itu ia memiliki tujuh puluh ribu belenggu, serta setiap belenggu dijaga 70.000 malaikat yang menyeretnya.” (HR Muslim). (Talbis Iblis, hal 341-342).

Dari Al-Junaid bin Muhammad, dia berkata, “Kemarin ada seseorang yang ingin bertemu denganku, yang berasal dari Bustham. Dia bercerita tentang Abu Yazid Al-Busthami yang pernah berkata, “Ya Allah, seandainya sudah ada dalam pengetahuan-Mu bahwa Engkau akan mengadzab seseorang dari hamba-Mu dengan api neraka, maka agungkanlah penciptaanku, agar dengan keberadaanku Engkau tidak mengadzab selainku.”

Komentar Ibnul Jauzi, “Dari semua pernyataannya ini bisa dilihat secara jelas bagaimana keburukan perangainya. Terutama bualannya yang terakhir, sangat nyata kesalahannya, yang bisa dilihat dari tiga segi:

1. Tentang perkataannya, “Seandainya sudah ada dalam pengetahuan-Mu”, kita sudah tahu bahwa Allah pasti akan mengadzab makhluk dengan api neraka, dan Allah telah menyebutkan sebagian nama-nama makhluk itu, seperti Fir’aun dan Abu Lahab. Maka bagaimana mungkin dikatakan “Seandainya”, jika sudah ada kepastian dan keputusan?

2. Tentang perkataannya, “Maka agungkanlah penciptaanku, agar dengan keberadaanku Engkau tidak mengadzab selainku”, berarti dia juga berbelas kasihan terhadap orang-orang kafir. Masih mendingan jika dia berkata, “Agar aku dapat membela orang-orang Mukmin.” Yang pasti, bualannya itu merupakan kelancangan terhadap rahmat Allah.

3. Dia tidak tahu ketetapan Allah terhadap api neraka atau terlalu merasa yakin terhadap kesabaran dirinya. Padahal kedua-duanya tidak ada dalam dirinya. (Talbis Iblis, hal 246, terjema­hannya –Perangkap Syetan– Pustaka Al-Kautsar Jakarta, cet I, hal 288).

Ibnul Jauzi mencontohkan bualan sufi lain lagi sebagai beri­kut:

Ibnu Aqil pernah menuturkan dari Asy-Syibli (tokoh sufi), bahwa dia berkata, sesungguhnya Allah telah berfirman:

“Dan kelak Rabbmu memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.” (Ad-Dhuha: 5). Demi Allah, Muhammad saw tidak ridha karena di dalam neraka ada seorang dari ummatnya.”

Kemudian dia (Asy-Syibli) berkata, “Sesungguhnya Muhammad memintakan syafa’at bagi ummatnya, lalu aku memintakan syafa’at setelah beliau, bagi orang-orang yang ada di dalam neraka, se­hingga di sana tidak menyisa seorangpun.”

Ibnu Aqil berkata, “Anggapan Asy-Syibli yang pertama tentang Rasulullah saw (tidak ridha karena di dalam neraka
ada seorang dari ummatnya) adalah dusta, karena beliau ridha terhadap adzab yang dijatuhkan kepada orang-orang yang jahat. Dalam hubungannya dengan khamr (minuman keras) saja beliau sudah melaknat sepuluh orang. Maka bagaimana mungkin ada anggapan bahwa beliau tidak ridha terhadap adzab yang dijatuhkan kepada orang-orang dzalim? Tentu saja ini anggapan yang salah dan menunjukkan kebodohan (tokoh sufi tersebut) terhadap syari’at.

Bualannya (Asy-Syibli-tokoh sufi) bahwa dia bisa memintakan syafa’at bagi semua orang, yang berarti melampaui Rasulullah saw, jelas merupakan kekafiran. Sebab selagi orang memastikan dirinya termasuk penghuni surga, maka dia justru menjadi penghuni neraka.

Lalu bagaimana mungkin dia membual dan memberikan kesaksian atas dirinya, bahwa kedudukannya lebih tinggi daripada kedududukan Nabi dan bahkan melebihi kapasitas seorang Nabi yang memintakan syafa’at?

Ibnu Aqil berkata, yang mungkin aku punyai untuk melibas para ahli bid’ah adalah mulutku dan hatiku. Seandainya kemampuanku meluas ke dalam pedang pastilah aku aliri bumi dengan darah orang. (Talbis Iblis, hal 248, terjemahannya hal 290).

Diriwayatkan dari Abul Abbas bin Atha’, dia berkata, “Aku membaca Al-Quran, namun tidak kutemukan keterangan
di dalamnya bahwa Allah menyebutkan seorang hamba, memujinya dan menimpakan cobaan kepadanya. Maka aku memohon kepada Allah agar Dia menimpakan cobaan kepadaku. Tak seberapa lama setelah itu, aku kehilangan duapuluh orang anggota keluarga, semuanya meninggal dunia.”

Bahkan, menurut kisahnya, hartanya juga ludes, tak seorangpun keluarganya yang masih hidup dan dia menjadi gila. Ketika dia sudah sembuh, yang pertama kali dia ucapkan adalah: “Benar apa yang kukatakan. Rupanya Engkau (Allah) telah menimpakan cobaan kepadaku secara semena-mena. Aku harus menanggung kehendakMu. Namun sangat mencengangkan, karena aku masih bisa bersabar.”

Ibnul Jauzi berkomentar, “Karena kebodohanlah yang mendorong Abul Abbas (orang sufi) memohon cobaan atas dirinya. Berarti dia merasa hebat dan kuat. Yang seperti ini merupakan tindakan yang amat buruk. Apa yang dia katakan terhadap Allah sama sekali tidak layak.”

Abul Hasan Ali bin Ibrahim Al-Hushri (orang sufi) berkata: “Sejak lama aku tidak berlindung dari syetan jika aku hendak membaca Al-Quran. Karena siapakah syetan yang berani mendekati firman Allah?”

Komentar Ibnul Jauzi, “Tentu saja perkataannya ini bertentangan dengan firman Allah yang memerintahkan:

“Apabila kamu membaca Al-Quran, hendaklah kamu meminta perlindun­gan kepada Allah dari syetan yang terkutuk.” (An-Nahl: ayat 98).” (Talbis Iblis, hal 249, terjemahannya, hal 290).

Demikianlah sebagian dari bualan orang sufi yang diriwayatkan dan dikomentarai oleh Ibnul Jauzi, yang pada teks aslinya diri­wayatkan dengan nama-nama periwayatnya sebagaimana yang biasa diterapkan dalam periwayatan hadits yang disebut sanad.

Problema di masyarakat, nyleneh pun dianggap saleh

Kata-kata orang sufi itu secara sekilas menunjukkan kekhusyu­’an, keikhlasan, ketawadhu’an; namun hakekatnya justru merupakan bualan yang sangat jauh dari ajaran Islam, bahkan menentang ayat-ayat Allah SWT. Di sinilah salah satu bentuk kerancuan sufisme yang menjauhkan Islam dari pemahaman yang benar, namun sekaligus menjerat orang untuk tercebur dalam kesesatannya tanpa terasa, bahkan menganggap bahwa mereka telah masuk pada tahapan kesalehan. Celakanya, label kesalehan itupun disandangkan kepada orang sufi, sehingga orang sufi diidentikkan dengan orang saleh, lantas tahap lebih atasnya lagi adalah wali, yang kadang tingkahnya aneh-aneh, atau nyleneh, atau bahkan sangat melanggar syari’at pun tetap mereka anggap saleh. Karena wali telah mereka anggap di luar jangkauan orang awam, hingga keanehannya itu justru menandakan kewaliannya, menurut mereka.

Kesesatan telah mereka warisi dari generasi ke generasi, hingga kadang-kadang menyeret orang intelek, yang akibatnya akan lebih menyeret banyak orang lagi. Contoh nyata, seorang profesor bernama Dawam Rahardjo mengatakan bahwa Gus Dur (Abdurrahman Wahid) adalah wali dan sangat brilliant sekali. Ungkapan Profesor Dawam Rahardjo itu bukan hanya diucapkan di kalangan terbatas, namun disiarkan secara nasional, karena disiarkan oleh televisi swasta yang mewawancarainya, yakni ANteve, Selasa pagi 26 Oktober 1999M/ 16 Rajab 1420H. Dalam wawancara itu, Profesor Dawam Ra­hardjo selaku mantan atasan Gus Dur, menurut pewawancara ANteve, ditanya atau dimintai komentar-komentarnya dengan adanya Gus Dur terpilih sebagai presiden Indonesia yang ke-empat, pekan lalu (20/10 1999), yang kemudian siang itu (26/10 1999) akan ada pengumuman tentang susunan kabinet dari Presiden Gus Dur.

Kenapa ungkapan Prof Dawam Rahardjo –bahwa Gus Dur itu wali– di sini dipersoalkan?
Ini sekadar contoh soal, bahwa orang yang berbicara tentang Al-Quran dengan sangat ngawur seperti Gus Dur, ternyata dinyata­kan secara terang-terangan oleh seorang profesor, sebagai wali dan sangat brilliant sekali.

Apa alasan Profesor Dawam rahardjo menggelari Gus Dur sebagai wali?
Di antaranya Profesor Dawam Rahardjo beralasan, Gus Dur belajar Bahasa Inggeris cepat sekali, dan pidatonya dengan bahasa Inggeris bagus sekali.

Apa kaitannya antara bagusnya pidato bahasa Inggeris seseorang denga kewalian? Hanya profesor Dawamlah yang mungkin bisa menjawab. Mestinya, kewalian yang disandangkannya itu lebih pantas dikaitkan dengan bagaimana orang yang digelari wali itu dalam memahami dan mengamalkan Al-Quran. Coba kita simak, satu bukti nyata sebagai berikut:

Abdurrahman Wahid alias Gus Dur Ketua Umum PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) menulis artikel berjudul Antara Asas Islam dan Asas Pancasila di koran Media Indonesia, Rabu 17 Maret 1999, halaman 6.

Di antaranya Abdurrahman Wahid menulis: “Bahkan, Allah memerintahkan manusia untuk beragam agama, “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (lakum dienukum wa liya dien). Bahkan, dalam hal perbedaan agama, kita diperintahkan berbeda keyakinan, tetapi boleh bersama-sama dalam hal perbuatan. “Bagi kami amal perbuatan kami bagi kamu amal perbuatan kamu.” (Walanaa a’maalunaa walakum a’maalukum).”

Demikian petikan tulisan Abdurrahman Wahid/ Gus Dur. Tulisan itu mari kita cermati, apakah memang Gus Dur pantas digelari wali dari segi kealimannya tentang ayat-ayat Al-Quran.

Kesesatan telah mereka warisi dari generasi ke generasi, hingga kadang-kadang menyeret orang intelek, yang akibatnya akan lebih menyeret banyak orang lagi. Contoh nyata, seorang profesor bernama Dawam Rahardjo mengatakan bahwa Gus Dur (Abdurrahman Wahid) adalah wali dan sangat brilliant sekali. Ungkapan Profesor Dawam Rahardjo itu bukan hanya diucapkan di kalangan terbatas, namun disiarkan secara nasional, karena disiarkan oleh televisi swasta yang mewawancarainya, yakni ANteve, Selasa pagi 26 Oktober 1999M/ 16 Rajab 1420H. Dalam wawancara itu, Profesor Dawam Ra­hardjo selaku mantan atasan Gus Dur, menurut pewawancara ANteve, ditanya atau dimintai komentar-komentarnya dengan adanya Gus Dur terpilih sebagai presiden Indonesia yang ke-empat, pekan lalu (20/10 1999), yang kemudian siang itu (26/10 1999) akan ada pengumuman tentang susunan kabinet dari Presiden Gus Dur.

Kenapa ungkapan Prof Dawam Rahardjo –bahwa Gus Dur itu wali– di sini dipersoalkan?
Ini sekadar contoh soal, bahwa orang yang berbicara tentang Al-Quran dengan sangat ngawur seperti Gus Dur, ternyata dinyata­kan secara terang-terangan oleh seorang profesor, sebagai wali dan sangat brilliant sekali.

Apa alasan Profesor Dawam rahardjo menggelari Gus Dur sebagai wali?
Di antaranya Profesor Dawam Rahardjo beralasan, Gus Dur belajar Bahasa Inggeris cepat sekali, dan pidatonya dengan bahasa Inggeris bagus sekali.

Apa kaitannya antara bagusnya pidato bahasa Inggeris seseorang denga kewalian? Hanya profesor Dawamlah yang mungkin bisa menjawab. Mestinya, kewalian yang disandangkannya itu lebih pantas dikaitkan dengan bagaimana orang yang digelari wali itu dalam memahami dan mengamalkan Al-Quran. Coba kita simak, satu bukti nyata sebagai berikut:

Abdurrahman Wahid alias Gus Dur Ketua Umum PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) menulis artikel berjudul Antara Asas Islam dan Asas Pancasila di koran Media Indonesia, Rabu 17 Maret 1999, halaman 6.

Di antaranya Abdurrahman Wahid menulis: “Bahkan, Allah memerintahkan manusia untuk beragam agama, “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (lakum dienukum wa liya dien). Bahkan, dalam hal perbedaan agama, kita diperintahkan berbeda keyakinan, tetapi boleh bersama-sama dalam hal perbuatan. “Bagi kami amal perbuatan kami bagi kamu amal perbuatan kamu.” (Walanaa a’maalunaa walakum a’maalukum).”

Demikian petikan tulisan Abdurrahman Wahid/ Gus Dur. Tulisan itu mari kita cermati, apakah memang Gus Dur pantas digelari wali dari segi kealimannya tentang ayat-ayat Al-Quran.

Untuk mengatakan bahwa seseorang itu brilliant sekali atau cerdas sekali, bila yang mengatakan itu seorang profesor, sebenarnya sudah layak dipercaya. Tetapi, berhubung perkataan sang profesor yang menggelari Gus Dur sebagai wali itu terbukti hanya kata-kata tak bermakna, maka kini perlu dibuktikan pula, benarkah Gus Dur itu brilliant sekali seperti yang dikatakan Profesor Dawam Rahardjo?

Dalam kasus yang berkaitan dengan kondisi dan situasi saat sang profesor itu diwawancarai (26/10 1999), tersebar berita bahwa Gus Dur pada awal pemerintahannya, sebagai presiden Indone­sia, ia mengatakan akan membuka hubungan ekonomi dengan Israel. Sedang untuk hubungan diplomatik, belum dibuka hubungan.

Dalam kondisi ekonomi dan keamanan yang masih sangat belum mantap, istilahnya masih krisis, ditambah hubungan antar agama di Indonesia sendiri terjadi bunuh-bunuhan antara Muslimin dan orang Kristen ataupun Katolik seperti di Ambon dan Maluku Tenggara, bahkan di Jakarta seperti kasus Ketapang Jakarta Pusat, masih merupakan dengan Israel. Semua orang tahu, Israel itu musuh orang Islam sedunia, karena Israel masih mengangkangi Masjidil Aqsha, tempat suci ke-tiga bagi ummat Islam sedunia. Juga Israel adalah pembantai yang amat sadis terhadap ummat Islam, baik di dalam masjid sedang shalat maupun di luar, penjajah yang sangat licik, dan pencaplok wila­yah-wilayah Palestina. Dalam hal berdagang atau berhubungan dengan masyarakat Islam, Israel itu sangat curang sambil meme­rangi Islam.

Kita simak bukti dari pengamatan seorang yang cukup terpercaya dalam kasus ini sebagai berikut:

Dr Hidayat Noer Wahid pengamat Timur Tengah mencontohkan ting­kah Yahudi Israel. Dengan dibukanya kedutaan Israel di Mesir, ternyata Yahudi bisa menekan hingga mampu menghapus ayat-ayat Al-Quran yang mengecam Yahudi di pelajaran sekolah. Menghapus peta Palestina, hingga adanya hanya Israel. Yahudi mendukung penggala­kan turisme, namun turis Yahudi yang datang (ke Mesir) hanya gembel, hingga tak menambah pendapatan bagi Mesir. Malahan 52 orang Yahudi yang ketahuan masuk ke Mesir memakai paspor Belanda terbukti semuanya mengidap AIDS.

Dari segi pertanian, Israel menjual pupuk ke Mesir, namun tahu-tahu akibatnya tanah jadi tandus. Itu di samping sampo Israel yang bikin botak rambut, dan tanaman yang didatangkan dari Israel menyebarkan hama. (H Hartono Ahmad Jaiz, Bila Hak Muslimin Dirampas, Pustaka Al-Kautsar Jakarta, 1994, halaman 99-100).

Untuk memberi gambaran latar belakang, bagaimana sikap ummat Islam Indonesia berhadapan dengan orang-orang tertentu yang pro Zionis Israel, kita simak kasus film propaganda Yahudi –Zionis Israel– berjudul Schindler’s List tahun 1994 yang ditolak keras oleh para tokoh Islam, namun ada orang-orang tertentu yang membe­la film Zionis Yahudi Israel itu, sebagai berikut:

Contoh kecil, dalam kasus pro kontra tentang film propaganda Yahudi, Schindler’s List, tercatat nama-nama pembela film Zionis itu. Setidaknya, yang telah menyuara setuju untuk diedarkan adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Umar Khayam (dua budayawan ini diwawancarai ANteve di rumah sakit, Abdurrahman Wahid dioper­asi matanya namun sempat menyuarakan persetujuan) dan Profesor Dawam Rahardjo yang dimuat Republika. Mereka itu dinilai oleh KH Hasan Basri (Ketua Umum MUI –Majelis Ulama Indonesia) sebagai orang-orang yang berpikiran bebas, sampai pendapat yang aneh-aneh sekalipun. (Ibid, 1994, hal 96-97).

Pembaca bisa menilai, seberapa brilliant-nya Gus Dur yang kini mempresideni penduduk Indonesia yang berjumlah 210 jutaan jiwa yang hampir 90% Muslim ini. Apakah pupuk Israel yang bikin tandus tanah, sampo Israel yang bikin botak kepala, dan tanaman-tanaman yang diekspor dari Israel dengan menyebarkan hama, serta turis-turis gembel dari Israel yang semuanya ternyata mengidap penyakit paling berbahaya dan tak bisa disembuhkan yakni AIDS itu merupakan barang-barang dagangan yang sangat diperlukan oleh 210 juta penduduk Indonesia yang mayoritas Muslim ini? Belum lagi upaya menghapus ayat-ayat Al-Quran dari kurikulum sekolah yang Zionis tekankan. Brilliant sekalikah orang yang awal-awal kebija­kannya justru tidak punya pertimbangan pasar sama sekali itu?

Dari sisi lain, mari kita cermati sosok Gus Dur yang dia itu presiden, kiai, dan orang terkenal secara internasional. Dalam hal memandang Israel yang menjajah dan mencaplok tanah-tanah Palestina, Gus Dur selaku presiden mesti merujuk pada undang-undang dasar dan perundangan serta peraturan yang dipakai di Indonesia. Di antaranya ditegaskan dalam Mukaddimah Undang-undang Dasar 1945 bahwa “segala bentuk penjajahan harus dihapuskan.”

Orang yang faham betul tentang kepenjajahan Israel terhadap Palestina dan tentang sikap Indonesia seharusnya, di antaranya adalah Menteri Luar Negeri Ali Al-Atas yang lalu. Bisa kita simak sikapnya sebagai penanggung jawab politik luar negeri sampai menjelang kepemimpinan Gus Dur, sebagai berikut:

Dalam acara dengar pendapat dengan Komisi I DPR RI, 5 Juli 1999, Menlu Ali Al-Atas menegaskan, Indonesia menolak membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Alasannya, negara Israel merupakan negara kolonial, sehingga pembukaan hubungan diplomatik dengan Israel merupakan pelanggaran terhadap konstitusi (UUD 1945). (Adian Husaini, Menimbang Hubungan Dagang RI-Israel, Harian Republika, Jakarta, Jum’at 29 Oktober 1999M/ 19 Rajab 1420H, halaman 6).

Lantas, bagaimana seharusnya sebagai figur kiai atau tokoh Islam. Kita simak ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits yang sangat banyak mengecam Yahudi Bani Israel karena tingkahnya yang jahat, curang, paling loba sedunia, sombong, berkhianat, berbuat makar dan sebagainya. Dan kita lihat sejarah Nabi Muhammad SAW, bagaimana Nabi SAW memperlakukan Yahudi Bani Israel. Nabi SAW mau berjanji damai dengan Yahudi, hingga ada ikatan janji antara Yahudi dan Muslimin. Namun kemudian orang-orang Yahudi berkhia­nat, bahkan tetap memusuhi Muslimin, maka Nabi SAW mengadakan pengusiran terhadap Yahudi Bani Qainuqa’ (setelah perang Badr 2 H), pengusiran Yahudi Bani Nadhir setelah perang Uhud 3 H.

Selanjutnya, pengkhianatan dan permusuhan yang paling parah dilakukan oleh Yahudi Bani Quraidhah, maka seluruh lelaki dewasa Yahudi Bani Quraidhah selain anak-anak dan perempuan dihukum bunuh semua/ potong leher, akibat ganasnya pengkhianatan terhadap Muslimin dan penyerangan terhadap Muslimin secara khianat. Keber­angkatan untuk menyerbu Bani Quraidah (th 5 H) itu sendiri langsung dibangkitkan dan dikomandoi oleh Malaikat Jibril dengan barisan malaikat, ketika Nabi SAW baru saja meletakkan senjata dari Madinah. Peristiwa itu setelah perang Khandaq.

Ada peristiwa terkenal dalam keberangkatan untuk menyerbu Bani Quraidhah yang kemudian Muslimin mengepungnya sampai 15 hari, hingga Yahudi khianat itu menyerah. Dalam perjalanan, Malaikat Jibril berjalan dalam sebuah prosesi para malaikat, sementara Rasulullah Saw membuntuti di belakangnya beserta orang-orang Muhajirin dan Anshar. Saat itu beliau bersabda kepada para saha­bat:

“Laa yusholliyanna ahadukumul ‘ashro illaa fii Banii Quraidhata”

“Janganlah sekali-kali seseorang di antara kalian shalat ashar kecuali di Bani Quraidhah.” (HR Al-Bukhari /946 dari Ibnu Umar, Muslim, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi, shahih).

Seketika itu pula mereka memenuhi perintah beliau dan bangkit menuju Bani Quraidhah. Mereka masuk waktu ashar ketika masih di perjalanan. Sebagian ada yang berkata, “Kami tidak akan shalat ashar kecuali setelah tiba di Bani Quraidhah seperti yang diper­intahkan kepada kita.” Sehingga mereka mengerjakan shalat ashar itu setelah shalat isya’.

Sementara yang lain ada yang berkata, “Yang beliau maksudkan dari kita bukan itu tetapi agar kita segera keluar, karena itu mereka melakukan shalat ashar di tengah perjalanan, tetapi beliau tidak menegur satupun di antara dua golongan ini.

Para fuqaha’ saling berbeda pendapat antara dua golongan ini. Golongan pertama berkata, mereka yang mengakhirkannya adalah yang benar. Sekiranya kami bersama mereka, tentu kami akan mengakhir­kannya seperti yang mereka lakukan dan kami tidak akan mengerja­kan shalat ashar kecuali setelah tiba di Bani Quraidhah, karena patuh kepada perintah beliau dan meninggalkan ta’wil yang berten­tangan dengan dhahir.

Golongan lain berkata, “Mereka yang shalat ashar pada waktunya di tengah jalan dan yang lebih dahulu pergi adalah orang-orang yang mendapatkan fadhilah. Mereka bersegera melaksanakan perintah beliau dan segera mencari keridhaan Allah dengan shalat pada waktunya, kemudian mereka bersegera menghadapi musuh. Jadi, mereka mendapatkan fadhilah jihad, fadhilah shalat pada waktunya, dan memahami apa yang dimaksudkan dari perintah tersebut.” (Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, Zaadul Ma’aad, jilid III, halaman 118-120).

2 komentar:

  1. Subhanallah..Jazakallah..
    Semoga Allah mengampuni dosa2 besar saya dan antum jua, dan semoga berita antum ini dimengerti oleh sufisme di Indonesia ini.
    "Allahumma Amin"

    BalasHapus
  2. Belum pernah Rasulullah mengusir bahkan melarang kaum suffa yg setiap hari ratusan orang ada di masjid nabawi. Bahkan Rasul selalu mengundang mereka makan dan minum dirumahnya, dan terkadang apabila Rasul di undang makan di rumah sahabat mereka diajak dan juga denang apabila ada perintah untuk berjihad. Kaum suffa yg ada di masjid nabawi adalah kaum selalu mencurahkan hidupnya untuk ibadah dan inilah cikal bakal tasyawuf dan kaum sufi. Silahkan baca sejarah, gunakan hati nurani anda dan setelah itu bantah sekeras - kerasnya. tks

    BalasHapus

Buku Tamu


ShoutMix chat widget

Tulis disini :


Nama anda
Email anda
Judul
Pesan
Image Verification
captcha
Please enter the text from the image:
[ Refresh Image ] [ What's This? ]