. BONSER 3 MANIA: Pendapat Ulama Salaf tentang Tasawuf,Sufi dan Tareqat (Bag.2)
Assalamu'alaikum. Makasih ye dah mo mampir ke blog ane.
Semoga bermanfaat buat ente2 semuanye. Jangan lupe isi
buku tamunye. Follow juga dong kl bisa. Salam sahabat so
much dari ane.

Senin, 08 Maret 2010

Pendapat Ulama Salaf tentang Tasawuf,Sufi dan Tareqat (Bag.2)

Setelah pengepungan terhadap benteng Bani Quraidhah berlang­sung 15 hari, dan Nabi SAW menawarkan 3 syarat namun tidak ada yang dimaui oleh Bani Quraidhah, kemudian kaum Yahudi Bani Qu­raidhah yang sangat jahat permusuhannya terhadap Islam ini meny­erah. Ekskusi pun dilakukan, diserahkan Rasulullah SAW kepada Sa’d bin Mu’adz, yaitu hukuman bunuh/ dipenggal lehernya bagi setiap laki-laki Bani Quraidhah, sedangkan anak-anak dan wanita dijadikan tawanan, dan harta benda mereka dibagi. Lalu nabi SAW bersabda kepada Sa’d, “Engkau telah memutuskan tentang diri mereka dengan hukum Allah dari atas langit yang tujuh.” (Zaadul Ma’aad, jilid III, halaman 122).

Sebelum eksekusi, ada beberapa orang di antara mereka yang masuk Islam, sedangkan Amr bin Sa’d, salah seorang pemimpin Bani Quraidhah melarikan diri dan tidak diketahui ke mana perginya. Sebelumnya ia tidak mau bergabung dengan mereka untuk melanggar perjanjian. Rasulullah SAW memerintahkan untuk membunuh setiap lelaki (dewasa) yang pisau cukur telah ditarik atas (kumis)nya, adapun yang belum tumbuh (kumis), maka dimasukkan ke golongan anak-anak (tidak dibunuh). Lalu digalilah parit-parit untuk mereka di pasar Madinah, dan dipenggallah leher-leher mereka, jumlahnya antara 700 sampai 900 orang. Tidak ada seorang perem­puan pun yang dibunuh kecuali satu wanita yang dipenggal leher­nya, karena dia pernah melemparkan batu penggilingan ke kepala Suwaid bin Ash-Shamit hingga meninggal dunia. Mereka digiring ke parit-parit serombongan-serombongan… (Zaadul Ma’aad, halaman 123).

Perang (pengusiran terhadap Yahudi) Bani Qainuqa’ terjadi setelah perang Badr, perang (pengusiran terhadap Yahudi) Bani Nadhir setelah perang Uhud, dan perang (pembunuhan seluruh lelaki dewasa Yahudi pengkhianat) Bani Quraidhah setelah perang Khandaq.

Permusuhan Yahudi terhadap ummat Islam dari awal sangat kerasnya, hingga Nabi SAW langsung dikomandoi oleh malaikat Jibril dalam keberangkatannya menuju ke Bani Quraidhah.

Hadits tentang perang terhadap orang-orang Yahudi Bani Quraid­hah dan penawanan para wanita serta anak-anak mereka, diriwayat­kan oleh Al-Bukhari dalam Kitab Al-Maghazi (Fathul Bari, 7/475 no. 4122) dan Muslim dalam bab Hukum orang yang memerangi dan mengingkari janji, dari Aisyah, (nomor 1154 Mukhtashar Al-Mundziri), dikeluarkan pula oleh Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah dalam Zaadul Ma’aad (3/ 129).

Dalam masa sekarang pun, menghadapi Israel yang menjajah, membantai, dan mencaplok tanah-tanah Palestina, dan menguasai Masjidil Aqsha tempat suci yang ketiga setelah Makkah dan Madinah bagi Muslimin sedunia itu telah difatwakan oleh para ulama secara internasional. Bahkan pemerintah Indonesia sendiri ikut pula memfatwakan masalah Israel dalam kaitannya dengan Palestina itu. Kita simak bukti berikut:

Profesor Ibrahim Hosen (kini Ketua Komisi Fatwa MUI –Majelis Ulama Indonesia) selaku wakil menteri agama Indonesia menandatan­gani Fatwa Ulama Internasional tentang haramnya mengakui dan berdamai dengan Yahudi Israel.

Tandatangan utusan Indonesia itu terpampang paling jelas dalam dokumen yang dibukukan dengan judul Fatwa ‘Ulama’ Al-Muslimin bitahriimit Tanaazuli ‘an ayyi juz’in min Falasthien yang diterbitkan oleh Jam’iyyah Al-Ishlah Al-Ijtima’iyyah, Kuwait 1410H/ 1990M.

Fatwa haramnya berdamai dengan Yahudi dan larangan mengakui Yahudi Israel itu disepakati oleh ulama pada Konferensi Negara-negara Islam di Pakistan 1968.

Alasan haramnya berdamai dengan Israel, menurut fatwa ini, karena Yahudi Israel itu merampas dan menyerang, maka berdamai dengan perampas itu dilarang syari’at Islam. Sebab berarti menga­kui bolehnya perampas itu merampas, dan mengakui hasil rampasan­nya itu milik perampas. Maka tidak boleh orang Muslim berdamai dengan Yahudi yang melanggar hak itu. Dan hal itu akan memungkin­kan tetapnya mereka menjadi negara di bumi Muslimin yang disucikan. Bahkan wajib atas Muslimin semuanya untuk berjuang memboikot kekuatan mereka demi membebaskan negeri-negeri Palestina dan Arab dan menyelamatkan Masjidil Aqsha serta tempat-temat suci Islam lainnya dari tangan perampas. Seluruh Muslimin wajib berjihad untuk mengembalikan negeri-negeri itu dari perampas.”(Fatwa Ulama’ Al-Muslimin…, hal 71, dan copian teks aslinya di halaman 73) (Lihat Harian Pelita, Jakarta, Selasa 21 Februari 1995/ 21 Ramadhan 1415H, halaman 5).

Fatwa-fatwa lainnya, di antaranya dikeluarkan oleh Muktamar Ulama Palestina yang pertama, Januari 1935, mengharamkan penjua­lan tanah Palestina kepada Israel, karena sama dengan memperlan­car pengusiran ummat Islam oleh Israel. Maka penjual tanah itu dihukumi tidak boleh dishalati dan dikubur di pekuburan Muslimin, dan selama hidupnya wajib diboikot. (Al-Quds, 20 Syawal 1353H/ 26 Desember 1935M, tertanda Muhammad Amin Al-Husaini, Mufti Al-Quds dan Ketua Majlis Tinggi Islam, disertai 7 mufti lainnya dan hampir seratusan hakim agama).

Fatwa-fatwa lainnya, di antaranya fatwa Ulama Najd, fatwa Syeikh Rasyid Ridha, fatwa Lajnah Fatwa al-Azhar 1956 tentang haramnya berdamai dengan Israel dan wajib berjihad. Dan Fatwa Syeikh Al-Azhar Hasan Ma’mun, intinya:

“Bertemanan dan saling mengadakan hubungan perjanjian yang diadakan orang-orang Muslimin dengan negara-negara lain yang non Islam itu boleh dari segi syari’ah apabila untuk kemaslahatan kaum Muslimin. Adapun kalau hal itu untuk mendukung negara yang memusuhi negeri Islam seperti Yahudi yang memusuhi Palestina, maka itu menguatkan bagi musuh, mengakibatkan berlanjutnya dalam permusuhan terhadapnya (negeri Islam), dan barangkali (melanjut­kan) dalam memperluas di dalam (wilayah)nya pula. Maka yang demikian itu tidak boleh secara syari’at (Islam).” (Hasan Ma’mun, Syeikh Universitas Al-Azhar, Mufti Diyar Mesir, Fatwa ‘Ulama’ Muslimin, hal 63-66).

Segi yang lain, Gus Dur sebagai tokoh yang hubungannya dengan internasional, tentunya perlu mempertimbangkan data dan fakta. Seperti yang ditulis Adian Husaini, ditegaskan: “Dengan Kasat mata, Israel memang masih menjadi negara penjajah, karena menca­plok wilayah Palestina dan masih belum memenuhi resolusi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) 242 dan 338 yang memerintahkan Israel keluar dari wilayah Pendudukan tahun 1967. Karena itulah, maka Indonesia tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel. (Republika, 29/10 1999).

Semuanya itu sebenarnya sudah jelas, seharusnya bagaimana sikap yang harus diambil. Namun jauh-jauh hari sebelum jadi presiden, Gus Dur ketika diadakan dialog di TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) 24 Mei 1999, Gus Dur selaku deklarator PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dan Ketua Tanfidziyah (eksekutif) Jami’iyah NU (Nahdlatul Ulama –satu organisasi Islam yang sering disebut tradisional) menegaskan, Indonesia perlu membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Alasannya, Indonesia mengakui Uni Soviet (Rusia) dan RRC sebagai negara. Padahal, kedua negara itu menganut atheisme. “Israel itu masih mengakui Tuhan, Anda tidak mau mengakui. Siapa yang bodoh,” kata Gus Dur bersemangat, ketika itu. (Adian Husaini, Menimbang Hubungan Dagang RI-Israel, Republika, 29/10 1999, hal 6).

Ungkapan Gus Dur yang –kalau tak salah– telah dua kali disi­arkan TPI (karena siarannya diulang lagi waktu itu) dan dikutip Adian ini ketika Gus Dur jabarkan sekarang dengan akan membuka hubungan ekonomi dengan Israel, dalam bahasa ndeso (desa)nya namanya ucapan gebyah uyah (menyama ratakan, semua garam itu asin). Bahasa kotanya mungkin menggeneralisir dan rancu, bahasa mantiq (logika)nya mungkin menarik natijah/ konklusi/kesimpulan dengan qodhiyah/ unsur yang kurang syarat, hingga sekilas seperti benar, padahal salah dan rancu. Bahasa ushul fiqhnya, ia akan menarik garis dengan cara qiyas aulawi (ini yang begini saja boleh apalagi itu yang begitu maka lebih boleh lagi) namun qiyas/ perbandingan (analogi)nya itu kurang syarat alias qiyas ma’al fariq alias qiyas batil.
Kenapa?
Karena, hubungan antar manusia atau antar negara itu bukan sekadar: apakah yang akan dihubungi itu mempercayai Tuhan atau tidak. Tetapi ada kaitan-kaitan lainnya. Yang jelas-jelas anti Tuhan pun, kalau itu tidak memusuhi Islam, maka ummat Islam boleh berhubungan secara manusiawi seperti berdagang dan sebagainya, dan perlu adil, namun dilarang mengangkat mereka sebagai teman akrab, apalagi pemimpin. Bahkan kalau mereka yang kafir itu tunduk dalam kekuasan Islam, isitilahnya kafir dzimmi, maka dilindungi. Sampai Nabi SAW bersabda:

Man aadzaa dzimmiyyan faqod aadzaani wa man aadzaanii faqod aadzallaah. (Rowahut Thobroni).

Barangsiapa mengganggu/menyakiti dzimmi (non Muslim yang tunduk pada kekuasaan Islam) maka sungguh ia mengganggu saya (Muhammad), dan siapa mengganggu saya maka sungguh ia mengganggu Allah.” (Diriwayatkan oleh at-Thabrani).

Sebaliknya, kalau orang yang kafir atau atheis itu memusuhi Islam, maka namanya kafir harbi, yaitu orang kafir dan musuh Islam. Itu hitungannya bukan karena sakadar kekafirannya terhadap Tuhan, namun karena memusuhi itu.

Perlu diketahui, orang muslim sendiri, bahkan sahabat Nabi SAW, yang pada dasarnya sebagai orang beriman dan memang ta’at, namun suatu ketika wajib diboikot oleh ummat Islam. Terkenal dalam ayat Al-Quran, al-hadits, dan sejarah Islam tentang kasus Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayyah, dan Murarah bin Rabi’ yang diboikot oleh Nabi SAW beserta seluruh sahabat, termasuk keluar­ganya pun tak boleh melayaninya; gara-gara Ka’ab bin Malik dkk ini tidak ikut perang jihad (saat itu Perang Tabuk) padahal dalam keadaan segar bugar tanpa halangan. 50 hari mereka itu diboikot hingga menangis tiap hari, terasa bumi ini sesak, karena salamnya pun tidak boleh dijawab oleh ummat Islam. Setelah tobat dan penderitaannya memuncak dan berlangsung 50 hari, barulah Allah SWT membolehkan tegur sapa dan bergaul kepada Ka’ab dkk itu. (Lihat tafsir QS At-Taubah ayat 118.)

Jadi, persoalan pokok boleh tidaknya berhubungan antar manu­sia, antar bangsa, atau antar negara, itu bukan sekadar memperca­yai Tuhan atau tidaknya. Memang tentang kepercayaan atau keyaki­nannya itu menjadi salah satu unsur yang diperhitungkan, tetapi tidak langsung hantam kromo atau menggebyah uyah seperti yang dikatakan Gus Dur itu.

Setelah jelas bahwa logika Gus Dur itu jauh dari kebenaran, lalu dalam kenyataan, masih pula ia jauh lagi dalam hal perencanaan teknisnya. Yaitu, untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel, kini belum, tetapi untuk hubungan ekonomi, ya dibukalah.

Kilah yang keluar dari mulutnya, di antaranya, karena tidak semua Yahudi Israel itu jahat. Dicontohkan, dia sendiri mendirikan lembaga Shimon Peres, dan punya teman-teman orang Yahudi, yang dia anggap baik-baik.

Kilah Gus Dur itu sangat naif. Bisa diambil contoh, di dalam Islam, khamr (minuman keras) dan judi itu ada manfaatnya, tetapi mudharatnya/dosa besarnya lebih besar dibanding manfaatnya. (lihat QS Al-Baqarah: 219). Maka hukum finalnya, khamr dan judi itu haram, keji, dan termasuk perbuatan syetan, wajib dijauhi (lihat QS Al-Maa’idah/ 5:90-91). Bahkan Nabi SAW melaknat 10 orang yang berhubungan dengan khamr.

La’anan Nabiyyu SAW fil khomri ‘asyarotan: ‘Aashirohaa wa mu’tashirohaa wa syaaribahaa wa haamilahaa wal mahmuulata ilaihi wa saaqiyahaa wa baai’ahaa wa aakila tsamanihaa wal musytariya lahaa wal musytaroota lahaa.

“Rasulullah Saw melaknat tentang khamr, sepuluh golongan: 1 yang memerasnya, 2 yang minta diperaskannya, 3 yang meminumnya, 4 yang membawanya, 5 yangminta diantarinya, 6 yang menuangkannya, 7 yang menjualnya, 8 yangmakan harganya, 9 yang membelinya, dan 10 yang minta dibelikannya.” (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Bahkan lagi, orang yang menjual buah anggur kepada pihak yang sudah diketahui membuat khamr pun dilarang.

Man habasal ‘inaba ayyaamal qithoofi hattaa yabii’ahu min Yahuu­diyyin aw nashrooniyyin aw mimman yattakhidzuhu khomron faqod takhohhaman naaro ‘alaa bashiirotin.

“Barangsiapa menahan buah anggurnya pada musim-musim memetik­nya, kemudian dijual kepada seorang Yahudi atau Nasrani atau kepada tukang membuat arak, maka sungguh jelas dia akan masuk neraka.” (HR At-Thabarani dalam Al-Awsath).

(Itu Gus Dur bisa dipastikan telah faham). Lantas, bagaimana kalau Gus Dur membuka hubungan dagang antar Indonesia dengan Israel itu akan mengayakan Israel, yang dengan kekayaannya itu akan lebih gila lagi dalam menggencet Palestina khususnya, dan ummat Islam sedunia pada umumnya? Bukankah hal itu lebih buruk ketimbang sekadar menjual buah anggur kepada produser khamr? Bukankah itu berarti mempersenjatai musuh Islam untuk memerangi Islam?

Kita bandingkan dengan kehidupan sehari-hari saja, biar agak mudah persoalannya. Kita ambil misal, seorang “anak gaul” (perilakunya bebas) telah dilarang oleh orang tuanya, “jangan sampai kamu kawin dengan gadis “Pojokan” (rumahnya di pojokan, misalnya) itu. Karena dia itu anak perampas tanah-tanah orang Islam, pembu­nuh, penipu, perampas masjid ummat Islam, masih mengidap AIDS lagi. Dan dia itu terlibat dalam semua kasus itu.”

Lalu si “anak gaul” ini tetap bersikap cengengesan, dan tetap akan mengadakan hubungan dengan gadis “Pojokan” tersebut. Ketika orang tuanya marah-marah, maka si “anak gaul” ini bilang: “Kan saya hanya bertemanan, Pak. Kalau untuk kawin sih, belum. Ini hanya bertemanan, masa’ nggak boleh? Apakah kalau orang serumah itu menjadi perampok, tidak ada yang tidak merampok? Bayi-bayinya kan belum merampok? Jadi kita berhubungan dengan para perampok seisi rumah itu karena di sana masih ada bayi-bayi yang belum jadi perampok. Dan pula kita bergaul dengan perampok itu agar mereka tidak merampok kita, setelah kita nasehati.”

Sebagai orang tua yang baik, tentu wajib mengambil sikap terhadap anaknya yang sikapnya cengengesan dan ngotot untuk bergaul dengan perampok itu. Sebaliknya, kalau orang tua itu diam saja, atau bahkan mengiyakan, itu justru perlu dipertanyakan. Mungkin si orang tua ini sendiri memang tidak lurus, mungkin takut terhadap keganasan anaknya kalau mengamuk, atau mungkin punya utang (harta atau budi) dengan si perampok tersebut, dll.

Walhasil, dari berbagai segi, tokoh terutama Presiden Abdur­rahman wahid dan Menteri Luar Negeri Dr Alwi Shihab yang ingin menyelenggarakan hubungan ekonomi dengan Israel itu terbukti sangat dangkal cara berfikir ataupun menimbang suatu persoalan.

(Tentang dangkalnya pendapat Dr Alwi Shihab di samping ungkapan­ nya mengaburkan ajaran Islam dan menyakiti ummat Islam, bisa dibaca dalam buku Di Bawah Bayang-bayang Soekarno Soeharto, Tragedi Politik Islam Indonesia dari Orde Lama hingga Orde Baru, Darul Falah Jakarta, 1999, halaman 150-155).

Maka batallah julukan wali, brilliant sekali dsb.nya itu, kalau tidak mau menyebut sebagai sebaliknya. Hanya saja, karena bagaimanapun beliau itu adalah orang yang berpengaruh, apalagi telah menjadi presiden, maka seorang dari kelompok yang sangat keras sikapnya terhadap Israel yaitu Mas Mutammimul Ula SH, setelah jadi anggota DPR, Meskipun demikian, masih agak mendingan sedikit ketimbang Pak Zarkasih Noer dari PPP (Partai Persatuan Pembangunan) yang sama-sama diwawancarai pagi itu, yang memang siang harinya kemudian Zarkasih Noer termasuk yang diumumkan sebagai menteri (tentu pagi itu ia sudah tahu bahwa dirinya akan diumumkan jadi menteri), yakni menteri koperasi, dalam jajaran kabinet yang disebut “Kabinet Persatuan Nasional”. Zaman Presiden Habibi kabinet itu disebut “Kabinet Reformasi”, sedang zaman Soeharto disebut “Kabinet Pembangunan”, yang terakhir kabinet masa Soeharto itu hanya berumur 70 hari karena Soehartonya didemo para mahasiswa berhari-hari hingga turun dari jabatan kepresidenan yang ia istilahkan lengser keprabon, dan diserahkan kepada wakilnya, BJ Habibie.

Masalah kurang kerasnya Mas Tamim dalam menggenjot gagasan Gus Dur tentang mau mengadakan hubungan dagang/ ekonomi dengan Israel ini sangat beda dengan seniornya dalam pergaulan seperti H Ahmad Sumargono. Sekalipun juga jadi anggota DPR namun Bang Gogon (Sumargono) dari awal tampak masih agak lantang dalam kasus akan adanya hubungan ekonomi dengan Israel itu. (Maaf Mas Tamim, ini sekadar ngitik-itik/ mengkilik-kilik, tapi boleh juga dipikirkan). Dan kemudian alhamdulillah, setelah agak ramai penolakan dan protes terhadap kemauan keras Gus Dur itu, khabarnya Mas Tamim bangkit pula menentang ketidakbijakan Presiden Gus Dur dan Menteri Luar Negeri Alwi Shihab tersebut.

Kembali kepada persoalan awal, ada profesor yang menggelari tokoh dengan gelar wali dan dipuji karena dianggap brilliant sekali, itu pantas sekali dipertanyakan dan diragukan ungkapannya itu.

Kalau profesornya saja seperti itu cara berfikirnya, dan orang yang digelari wali yang sangat brilliant saja seperti itu cara berfikir dan kebijaksanaannya, bisa kita bayangkan, bagaimana orang awamnya yang model mereka. Makanya tak mengherankan bila ajaran shufi yang sangat jauh dari Islam pun dengan mudah menyebar dan dipegangi oleh orang awam secara turun temurun, bahkan menjangkiti orang-orang yang disebut atau menyebut dirinya sebagai intelektual Muslim. Hal yang sangat dimaklumi adanya, sekaligus sebagai keadaan yang sangat perlu dihadapi dengan hikmah dan mau’idhah hasanah.

Barangkali ada yang langsung bergumam dengan mengatakan, tulisan ini sendiri tidak menempuh jalan dengan hikmah dan mau’idhah hasanah, buktinya langsung menunjuk nama Profesor Dawam Rahardjo dan Gus Dur.

Maaf, mereka berdua itu telah menyampaikan pendapat-pendapat tersebut di media massa umum, bahkan kemungkinan sekali jangkauannya lebih luas dari buku ini, yakni koran harian umum, dan televisi swasta yang menjangkau se Indonesia. Sehingga, kebatilan yang mereka umumkan lewat media massa secara luas itu perlu diumumkan pula kebatilannya, agar orang umum tahu bahwa itu batil. Dan sebaliknya, bila apa yang saya (penulis) kemukakan ini batil, maka saya pun akan menerima kebenaran, bila ada yang menjelaskannya dengan bukti-bukti/dalil bahwa pendapat saya ini batil, dan bahkan saya akan berterimakasih, karena kebatilan yang tersebar –akibat aneka kelemahan saya– bisa terhapus. Di samping itu, penyebutan nama-nama tersebut adalah untuk membuktikan secara ilmiah tentang adanya kasus itu, hingga tidak berkadar sebagai karangan fiksi/ khayalan belaka. Karena, masalah ini adalah masalah yang menyangkut agama Islam, satu ajaran yang harus dipertanggung jawabkan di dunia dan bahkan sampai di akherat kelak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Buku Tamu


ShoutMix chat widget

Tulis disini :


Nama anda
Email anda
Judul
Pesan
Image Verification
captcha
Please enter the text from the image:
[ Refresh Image ] [ What's This? ]